Kepala Daerah Ramai-Ramai Kritik Aturan Turunan Cipta Kerja, Kenapa?

Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) mengkritisi aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja yang digodok pemerintah.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Mei 2021, 15:30 WIB
Sejumlah menteri kabinet Indonesia Maju foto bersama Pimpinan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). Rapat tersebut membahas berbagai agenda, salah satunya mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) mengkritisi aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja yang digodok pemerintah. Seba banyaknya aturan turunan yang ada, keberadaan omnibus law justru akan menyulitkan investasi.

Ketua Apeksi, Bima Arya mengatakan, sejak awal anggota Apeksi yang terdiri dari 98 walikota dari seluruh Indonesia mengritisi adanya omnibus law Cipta Kerja. Seluruh kepala daerah khawatir aturan yang dibuat dalam rangka pelaksanaan UU ini akan membuat proses perizinan menjadi rumit.

"Kita dari awal agak mengkritisi omnibus law. Kenapa? Sebab pertama, kita khawatir adanya resentralisasi. Kedua, kita khawatir hiper regulasi, sebab aturan turunannya bikin ribet," kata dia dalam video conference dengan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia secara virtual, Senin (10/5).

Bima mencontohkan, penerapan UU Cipta Kerja juga bisa berpotensi membuat daerah kehilangan pendapatannya dari retribusi. Apalagi dengan adanya pemberian insentif di UU Cipta Kerja yang belum jelas, tentu daerah akan dirugikan karena pendapatan berkurang.

"Contoh, pajak dan restribusi daerah akan diturunkan Keppresnya terkait PSN. Kita kan dukung PSN, tetapi nanti harus jelas pajak bagaimana, siapa yang dikenakan pajak dan berapa lama. Selama ini belum jelas, lagi-lagi pendapatan daerah akan sangat berkurang," ungkapnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Tsunami Regulasi

Massa Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (16/11/2020). GSBI meminta pemerintah mencabut UU Cipta Kerja serta menaikkan upah buruh 2021 sesuai kebutuhan rill buruh dan keluarga. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Bima menambahkan, banyaknya aturan turunan dari UU Cipta Kerja menyebabkan terjadinya tsunami regulasi. Saat ini dia menyebut, paling tidak ada 47 Peraturan Pemerintah (PP) yang harus diselesaikan sehingga menimbulkan kebingunggan bagi pemerintah daerah.

"Masalahnya teman-teman di daerah, kepala daerah melihat ketika Permen agak lambat, kemudian enggak jalan, ibaratnya banyak yang enggak bergerak. Contoh DTMPTSP kan kita diminta lakukan standarisasi keseragaman struktur, tetapi sekarang itu belum jelas," ujar dia.

Bima menekankan kritik ini penting disampaikan agar pemerintah daerah bisa memberi masukan kepada kementerian/lembaga dalam mengidentifikasi sektor-sektor mana saja yang ingin dipercepat dan menjadi perhatian bersama. Dengan begitu, tujuan dari UU Cipta Kerja ini bisa tercapai.

"Apeksi enggak mau suma jadi sarana sosialisasi, target, enggak mau kita, tapi kita ingin jadi referensi kebijakan. Ada persoalan di lapangan kita sampaikan, dan kita carikan penyelesaian persoalannya," tegas Bima.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya