Liputan6.com, Jakarta Pemerintah berencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di tahun depan. Rencana ini dalam waktu dekat akan dibawa di DPR untuk mendapatkan persetujuan.
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menyoroti rencana kenaikan tarif PPN yang dinisasikan pemerintah di tahun depan. Kenaikan ini disebut-sebut bertujuan untuk mengejar target pajak di 2022.
Advertisement
Berdasarkan Undang-Undang PPN pasal 7 pemerintah bisa mengatur perubahan tarif paling rendah berada pada angka 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Adapun saat ini, tarif PPN berlaku untuk semua produk dan jasa, yakni 10 persen.
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI, Ajib Hamdani mengatakan, rencana kenaikan tarif PPN tersebut menjadi sebuah opsi kebijakan pragmatis yang dilontarkan pemerintah, dan cenderung mengabaikan kondisi pemulihan ekonomi yang belum normal. Indikator yang cukup jelas, pertumbuhan ekonomi di kuartal 1 2021 masih terkonstraksi, di kisaran -0,74 persen.
"Apakah kebijakan pemerintah ini tepat dalam masa pandemi seperti ini?" kata Ajib mempertanyakan, kepada merdeka.com, Selasa (11/5/2021).
Di sisi lain, pemerintah sudah memprediksi bahwa ekonomi masih membutuhkan waktu untuk pemulihan secara normal setelah tahun 2022 nanti, dengan disetujuinya Perpu Nomor 1 tahun 2020, yang disahkan menjadi UU nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Menangani Pandemi Covid-19.
Berdasarkan catatan, data penerimaan pajak tahun 2020, PPN dalam negeri memberikan kontribusi pemasukan sebesar Rp 298,4 triliun dan PPN Impor sebesar 140,14 triliun. Total PPN sejumlah Rp 439,14 triliun ini setara dengan 36,63 persen pemerimaan pajak.
Dia menyarankan, baiknya pemerintah harus lebih fokus dengan pembuatan database yang valid dan terintegrasi, sehingga orientasinya adalah untuk ekstensifikasi dan mengurangi shadow economy. Upaya ini akan lebih mendorong kenaikan pemasukan buat negara, menjaga sustainability penerimaan dan memberikan keadilan buat masyarakat.
Dengan begitu maka fungsi pajak akan secara optimal, selain sebagai budgeteir, pengumpul uang buat negara, juga sebagai regulerend, pengatur ekonomi dan sebagai redistribusi pendapatan yang berkeadilan. Mengingat pembuatan database yang valid dan terintegrasi, lebih berorientasi jangka panjang dibandingkan dengan sekedar opsi menaikkan tarif PPN, yang cenderung memberikan beban berlebih kepada masyarakat.
"Opsi kenaikan PPN, adalah opsi kebijakan yang cenderung kontraproduktif dan tidak pro dengan masyarakat luas di masa pandemi yang belum selesai," jelasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumbr: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tarif PPN Bakal Naik, Pemerintah Siap Ajukan Draf ke DPR
Sebelumnya, pemerintah akan segera mengajukan revisi aturan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam revisi ini, tarif PPN yang dibebankan ke konsumen dapat lebih tinggi dari tarif biasanya yakni 10 persen.
“Tarif PPN pemerintah masih lakukan pembahasan dan dikaitkan dengan UU yang akan diajukan ke DPR terkait dengan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dan ini seluruhnya akan dibahas oleh pemerintah nanti pada waktunya akan disampaikan,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers, Rabu (5/5/2021).
Meski begitu, Airlangga belum menjelaskan lebih detail berapa kenaikan PPN yang akan dibebankan kepada konsumen. Sebab rencana ini masih dalam tahap pembahasan dan pengkajian secara internal.
Rencana kenaikan tarif PPN ini pun bertolak belakang dengan keinginan Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Ekonom Indef, Bhima Yudhistira justru meminta, pemerintah untuk menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen untuk produk-produk ritel di Tanah Air. Sebab, dengan ditanggungnya PPN, maka daya beli masyarakat akan kembali tumbuh.
"Sekarang demand langsung dirasakan bagi konsumen itu salah satunya PPN. Makanya ini PPN 10 persen itu ditanggung lah," ujarnya dalam webinar Pemulihan Ekonomi untuk Sektor UMKM Nasional, secara virtual, Rabu (28/4/2021)
Dia mengatakan, jika pemerintah tidak bisa menanggung full 10 persen, paling tidak ada penurunan tarif PPN. Dari 10 persen menjadi 5 persen. "Besarannya berapa kita bisa diskusi karena berkaitan dengan rasio pajak, berkaitan dengan defisit pemerintah nanti seperti apa," ujarnya.
Bima berharap dengan adanya pengurangan PPN masyarakat yang berbelanja di ritel akan meningkat. Sebab, secara otomatis harga yang akan diterima oleh masyarakat jauh lebih murah dari sebelumnya.
"Orang belanja makanan minuman itu langsung liat di struk PPN-nya kuranag nih, akhirnya harga diterima konsumen lebih murah. Jadi itu satu hal insentif perpajakan yang mungkin jangka pendek penting adalah PPN ditanggung pemerintah," ujarnya.
Advertisement