Liputan6.com, Jakarta - Pada dini hari tanggal 1 Februari, hanya beberapa jam sebelum sidang pertama parlemen yang baru terpilih di salah satu negara yang paling dilanda perselisihan di Asia Tenggara, demokrasi selama satu dekade terhenti.
Lebih dari tiga bulan setelah militer Myanmar merebut kekuasaan - protes massa, tindakan keras militer dan upaya diplomatik untuk memulihkan stabilitas terus berlanjut.
Mengutip Channel News Asia, Selasa (11/5/2021), masa depan untuk negara berpenduduk 54 juta orang itu masih belum jelas.
Baca Juga
Advertisement
Sebelum fajar, militer Myanmar - yang dikenal sebagai Tatmadaw - telah menahan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint dan pejabat lainnya dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang berkuasa.
Pemadaman internet dan komunikasi dimulai sekitar pukul 03.00 pagi. Militer juga menutup jalan di sekitar ibu kota Naypyidaw dan menutup bandara internasional.
Mengudara di saluran TV yang dikelola militer, Tatmadaw mengumumkan keadaan darurat selama setahun.
Dikatakan kekuasaan telah diserahkan kepada Jenderal Min Aung Hlaing dan berjanji untuk mengadakan pemilihan dalam waktu satu tahun.
Gerakan serentak dilakukan di Yangon, kota terbesar di Myanmar, tempat pasukan militer merebut Balai Kota tepat sebelum pengumuman militer.
Simak Video Pilihan di Bawah Ini:
Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Keadaan darurat akan berlangsung selama satu tahun, sebagaimana diatur dalam Konstitusi Myanmar. Junta telah berjanji untuk mengadakan pemilihan baru "setelah menyelesaikan tugas" yang telah ditetapkannya sendiri.
Namun setelah menggulingkan pemerintah sipil, pihaknya menunjuk Kabinet menteri baru, namun tidak satupun dari mereka yang diidentifikasi sebagai penjabat atau pengangkatan sementara.
Aktivis telah menyuarakan keraguan kuat bahwa militer akan mundur hanya dalam satu tahun.
Ada beberapa preseden untuk ini. Militer mengabaikan kemenangan NLD dalam pemilihan umum 1990 - pemilihan multi partai pertama di negara itu sejak kudeta 1962 - dan membutuhkan hampir dua dekade untuk melaksanakan transisi yang dijanjikan ke demokrasi.
Tetapi dengan keadaan domestik dan geopolitik yang berbeda saat ini, hasil untuk Myanmar masih harus dilihat.
"Di satu sisi, mengingat sejarah, kita bisa mengharapkan reaksi yang akan datang," tulis penulis dan sejarawan Myanmar, Thant Myint-U di Twitter.
"Di sisi lain, masyarakat Myanmar saat ini sama sekali berbeda dari 1988 dan bahkan 2007. Segalanya mungkin."
Advertisement