ICW Sebut Pimpinan KPK Sengaja Ingin Hambat Pengusutan Kasus Kakap

ICW menyebut penonaktifan penyidik senior KPK Novel Baswedan dan 74 pegawai lembaga antirasuah lainnya sengaja dilakukan pimpinan untuk menghambat penuntasan kasus korupsi kelas kakap.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 12 Mei 2021, 10:12 WIB
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana. (Merdeka.com/Ahda Bayhaqi)

Liputan6.com, Jakarta Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut penonaktifan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dan 74 pegawai lembaga antirasuah lainnya sengaja dilakukan pimpinan untuk menghambat penuntasan kasus korupsi kelas kakap.

"ICW meyakini motif di balik pemberhentian itu juga menyasar pada upaya pimpinan KPK menghambat penanganan perkara besar yang sedang diusut oleh para pegawai KPK tersebut, mulai dari korupsi bansos, suap benih lobster, KTP-Elektronik, Nurhadi, dan lain-lain," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Selasa (11/5/2021).

Menurut ICW, dengan terbitnya Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 yang ditandatangi Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri, misi utama pimpinan KPK jilid V ini berhasil, yakni menyingkirkan pegawai KPK yang kritis dan berintegritas.

"Setelah mengobrak-abrik KPK dengan berbagai kebijakan kontroversi, akhirnya misi utama pimpinan KPK berhasil, yakni menyingkirkan puluhan pegawai KPK yang selama ini dikenal berintegritas dan memiliki rekam jejak panjang selama bekerja di institusi antirasuah itu," kata dia.

Menurut Kurnia, tindakan dan keputusan pimpinan KPK telah melanggar hukum. Sebab, melandaskan hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) yang hingga kini menjadi perdebatan sebagai dasar penonaktifan Novel Baswedan cs.

"Padahal TWK sendiri sama sekali tidak diatur dalam UU 19/2019, PP 41/2020, dan bertolakbelakang dengan perintah putusan Mahkamah Konstitusi," kata Kurnia.

Diberitakan, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mempertanyakan alasan Ketua KPK Firli Bahuri mengeluarkan surat keputusan yang menonaktifkan dirinya dan 74 pegawai yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).

Dalam SK tersebut, Novel dan 74 pegawai lainnya harus menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada pimpinan masing-masing.

"Maksudnya, tujuannya apa tidak boleh menangani perkara, itu sebenarnya tidak ada korelasi tuh," ujar Novel saat dikonfirmasi, Selasa (11/5/2021).

Menurut Novel, tak lulus asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK) tak ada kaitanya dengan penonaktifan pegawai. Tak lulus uji TWK sejatinya hanya berimbas pada statusnya yang belum menjadi aparatur sipil negara (ASN).

"Lulus tidak lulus asesmen, ini asesmen lho, bukan penyaringan, bukan seleksi, artinya tidak akan putus dan tindakan itu kan bisa dilihat sebagai tindakan yang sewenang-wenang," kata Novel.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Akan Dilawan

Novel Baswedan menyatakan akan melawan tindakan pimpinan KPK yang menonaktifkan dirinya dan 74 pegawai lainnya yang tak lulus asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK).

"Maka sikap kami jelas, kami akan melawan!," ujar Novel dalam keterangannya, Selasa (11/5/2021).

Novel menyebut pihaknya akan mendiskusikan perlawanan ini lebih jauh bersama koalisi masyarakat sipil anti-korupsi.

"Nanti ada tim kuasa hukum dari koalisi sipil yang ingin melihat itu karena agak lucu juga, SK-nya kan SK pemberitahuan hasil asesmen, tapi kok di dalamnya menyebut menyerahkan tugas dan tanggung jawab, bukan pemberhentian lho," kata Novel.

Penonaktifan Novel Baswedan dan 74 pegawai yang tak lolos TWK diketahui dari Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021.

Dalam SK yang tersebar terdapat empat poin, pertama, menetapkan nama-nama pegawai yang tersebut dalam lampiran surat keputusan ini tidak memenuhi syarat dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi ASN.

Kedua, memerintahkan kepada pegawai sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsungnya sambil menunggu keputusan lebih lanjut.

Ketiga, menetapkan lampiran keputusan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini.

Keempat, keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini, akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.

SK itu tertanda Ketua KPK Firli Bahuri yang ditetapkan di Jakarta 7 Mei 2021. Untuk salinan yang sah tertanda Plh Kepala Biro SDM Yonathan Demme Tangdilintin.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya