Tarif PPN Bakal Naik, Pengamat Sebut Kemenkeu Gagal Kelola Fiskal Negara

Pengamat mengkritisi rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 15 persen di tengah kelesuan daya beli masyarakat.

oleh Andina Librianty diperbarui 12 Mei 2021, 18:00 WIB
Ilustrasi: Pajak Foto: Istimewa

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR, Kamrussamad, mengatakan rencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 15 persen di tengah kelesuan daya beli masyarakat, menunjukkan kegagalan Kementerian Keuangan mengelola fiskal negara. Ia mengibaratkan rencana ini seperti berburu di kebun binatang yang sedang sakit.

Hal tersebut disampaikan Kamarussamad menanggapi adanya wacana kenaikan tarif PPN dari saat ini 10 persen menjadi 15 persen, sebagai upaya mendorong penerimaan negara dari pajak.

"Rencana Menaikkan PPN 15 persen di tengah kelesuan daya beli masyarakat, menunjukkan kegagalan Kemenkeu dalam menjadikan APBN kebijakan fiskal sebagai instrumen dalam penciptaan sumber ekonomi baru. Ini sama dengan berburu di kebun binatang, binatang sedang sakit pula, karena musim paceklik," kata Kamrussamad dalam keterangannya pada Rabu (12/5/2021).

Saat pandemi Covid-19, kata Kamrussamad, ekonomi tidak bisa didorong berjalan sebagaimana situasi normal, karena semua sektor ekonomi mengalami tekanan.

Alokasi anggaran kesehatan juga turut meningkat. "Pandemi membutuhkan lebih banyak anggaran untuk pencegahan maupun penanganan kesehatan, khususnya terkait Covid-19," ujar politikus Gerindra tersebut

Menurutnya, pemerintah tidak memiliki peta jalan yang sejalan dengan prioritas di tengah pandemi. "Berbagai insentif digelontorkan lewat APBN, lebih banyak didominasi untuk penyelamatan ekonomi," sambungnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Selesaikan Kasus BLBI

Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Seluruh Indonesia melakukan unjuk rasa di depan Gedung KPK, Jakarta, Jumat (9/4/2021). Mereka mempertanyakan penerbitan SP3 terkait kasus dugaan korupsi BLBI untuk Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Ia pun menyarankan pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di masa krisis 1997 - 1998

"Itu penting, karena membebani APBN dengan bunga obligasi rekap yang harus dibayarkan tiap tahun sampai sekarang. Beban keuangan negara di APBN lainnya, juga harus di rasionalisasi, termasuk beban utang pemerintah, baik cicilan pokok maupun bunganya," tuturnya.

Kamrussamad menilai langkah tersebut dapat memberi kesan baik untuk kredibilitas pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara, khususnya APBN.

"Dengan membaiknya kredibilitas, pemerintah bisa memanfaatkan fasilitas pengurangan utang, untuk mengurangi beban APBN di tengah masa pandemi seperti ini," ungkapnya.

Tentunya pemerintah juga harus meyakinkan bahwa pemerintah memiliki skenario yang kredibel untuk mengatasi pandemi ini dengan tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Menurutnya, skenario tersebut harus menunjukkan rasionalitas dari sisi penerimaan dan belanja negara.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya