Liputan6.com, Beijing - Protes menutut demokrasi, massa pengunjuk rasa yang berjumlah lebih dari satu juta turun ke jalanan Beijing pada 18 Mei 1989.
Dikutip dari History, Senin (17/5/2021), protes terkait hal tersebut telah muncul sejak pertengahan 1980-an ketika pemerintah komunis mengumumkan bahwa mereka melonggarkan beberapa pembatasan ekonomi yang memungkinkan pasar yang lebih bebas untuk berkembang.
Advertisement
Didorong oleh aksi ini, rakyat -- khususnya mahasiswa, mulai menyurukan aksi serupa di front politik.
Pada awal 1989, protes damai mulai terjadi di beberapa daerah perkotaan terbesar China.
Digambarkan Seperti Pahlawan oleh Pers AS
Protes terbesar terjadi di sekitar Lapangan Tiananmen di pusat kota Beijing. Pada pertengahan Mei 1989, massa turun ke jalan dengan lagu, slogan, dan spanduk yang menuntut berlakunya demokrasi di negara tersebut.
Pemerintah China menanggapinya dengan tindakan yang semakin keras. Pihak berwenang menangkap dan melakukan kekerasan terhadap beberapa pengunjuk rasa.
Pada 3 Juni 1989, angkatan bersenjata China menyerbu ke Lapangan Tiananmen dan mulai menyapu para pengunjuk rasa.
Ribuan orang terbunuh dan lebih dari 10.000 ditangkap. Sekarang, insiden tragis itu dikenal sebagai Pembantaian Lapangan Tiananmen.
Aksi protes ini kemudian menarik perhatian dunia. Pemimpin Soviet Mikhail Gorbachev memuji para pengunjuk rasa dan secara terbuka menyatakan bahwa reformasi memang diperlukan di China.
Di Amerika Serikat (AS), mahasiswa asal China diperlukan seperti pahlawan oleh pers dan setelah insiden pembantaian, pemerintah AS menangguhkan penjualan senjata ke China dan menjatuhkan sanksi ekonomi.
Walau begitu, pemerintah China menolak untuk tunduk dan menyebut para pengunjuk rasa sebagai "elemen tanpa hukum."
Reporter: Paquita Gadin
Advertisement