Liputan6.com, Jakarta - Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengeluarkan laporan tahunan yang diserahkan kepada Kongres mengenai Kebebasan Beragama Internasional.
Laporan Kebebasan Beragama Internasional itu, menjelaskan status kebebasan beragama di setiap negara.
Advertisement
Dalam laporan tersebut pun terdapat kebijakan pemerintah yang melanggar keyakinan beragama dan praktik kelompok, golongan, dan individu terkait agama, serta kebijakan AS untuk mendorong kebebasan beragama di seluruh dunia.
Departemen Luar Negeri AS menyerahkan laporan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Kebebasan Beragama Internasional tahun 1998. Departemen Luar Negeri telah membuat dokumen ini setiap tahun selama 23 tahun, demikian disampaikan dalam rilis Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia, Senin (17/5/2021).
Dalam pernyataannya, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken mengatakan:
"Kebebasan beragama adalah hak asasi manusia; sesungguhnya, hal ini menyangkut inti makna menjadi manusia—untuk berpikir secara bebas, mengikuti hati nurani kita, mengubah keyakinan kita jika hati dan pikiran kita mengarahkan demikian, untuk mengekspresikan keyakinan itu di depan umum dan secara pribadi."
"Kebebasan ini diabadikan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hal ini juga merupakan bagian dari Amandemen Pertama Konstitusi AS. Komitmen negara kami untuk membela kebebasan beragama dan berkeyakinan sudah ada sejak berabad-abad lalu. Hal itu berlanjut hingga hari ini".
Saksikan Video Berikut Ini:
AS: Hak Kebebasan Beragama Masih Tak Diperoleh Banyak Orang di Seluruh Dunia
"Seperti yang ditunjukkan oleh Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahun ini, hak ini masih di luar jangkauan bagi banyak orang di seluruh dunia. Faktanya, menurut Pew Research Center, 56 negara, yang mencakup mayoritas penduduk dunia, masih menerapkan pembatasan secara besar atau berat terhadap kebebasan beragama," kata Menlu Blinken.
Ia juga menyampaikan, bahwa "Untuk menyebutkan beberapa contoh saja dari laporan tahun ini, Iran terus mengintimidasi, melecehkan, dan menangkap anggota kelompok agama minoritas, termasuk Baha'i, Kristen, Yahudi, Zoroastrian, Muslim Sunni dan Sufi".
"Di Burma, para pemimpin kudeta militer menjadi salah satu pihak yang bertanggung jawab atas pembersihan etnis dan kekejaman lainnya terhadap Rohingya, yang sebagian besar adalah Muslim, dan agama serta etnis minoritas lainnya di seluruh dunia," bebernya.
"Dan China secara luas mengkriminalisasi ekspresi beragama dan terus melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan serta genosida terhadap Muslim Uyghur dan anggota kelompok agama dan etnis minoritas lainnya," tambah Menlu Blinken.
Advertisement