Liputan6.com, Jakarta - Konflik teranyar Israel dengan kelompok Hamas di jalur Gaza, Palestina kembali menjadi sorotan internasional.
Gaza yang dihuni dua juta warga Palestina, sekali lagi mengalami penderitaan dan berbagai kerusakan.
Advertisement
Sebagai salah satu wilayah padat di dunia, Gaza kerap digambarkan sebagai 'penjara terbuka terbesar di dunia' karena blokade Israel di darat, laut, dan udara sejak 2007.
Israel menguasai wilayah udara Gaza dan laut dan dua dari tiga pos pemeriksaan, satu lagi dijaga oleh Mesir.
Dilansir dari laman Aljazeera, Gaza memiliki luas 365 kilometer persegi dengan penduduk 2 juta jiwa. Tempat ini menjadi salah satu yang terpadat di dunia.
Luas Gaza kira-kira setara dengan Cape Town, Afrika Selatan (400 kilometer persegi), Abbotsford, Kanada (375 kilometer persegi), Detroit, Amerika Serikat (367 kilometer persegi), Sheffield, Inggris (367 kilometer persegi).
Pergerakan keluar masuk dari Jalur Gaza melalui Beit Hanoun (Erez dalam bahasa Israel) berbatasan dengan Israel dan Rafah berbatasan dengan Mesir, baik Israel dan Mesir hampir selalu menutup perbatasan dan itu menyebabkan kian buruknya kondisi kemanusiaan dan ekonomi di Gaza.
Israel hanya mengizinkan keluar masuk melalui Beit Hanoun untuk bantuan kemanusiaan dengan penekanan kasus medis genting.
Jumlah orang Palestina yang melintasi Beit Hanoun sejak 2010-2019 rata-rata hanya 287 orang per hari, menurut data PBB.
Sementara melalui Rafah yang dikelola Mesir, jumlah orang keluar masuk pada 2019 rata-rata mencapai 213. Tetapi Israel hanya mengizinkan orang Palestina keluar masuk Gaza selama 14 hari.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perjalanan dari Tahun ke Tahun
Sejak akhir 1980-an ketika peristiwa Intifada, perlawanan besar-besaran rakyat Palestina, Israel mulai menerapkan larangan dengan membuat orang Palestina harus mengajukan izin untuk bisa bekerja keluar Gaza atau melintasi Israel atau pergi ke wilayah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Sejak 1993 khususnya, Israel memberlakukan penutupan wilayah Palestina, melarang siapa pun orang Palestina di wilayah tertentu untuk pergi, bisa sampai berbulan-bulan.
Pada 1995 Israel membangun pagar listrik dan tembok beton di sekitar Jalur Gaza sehingga melumpuhkan interaksi orang Palestina dengan sejawatnya di wilayah lain (Tepi Barat dan Yerusalem Timur).
Pada 2000 ketika Intifada Kedua meletus, Israel membatalkan semua izin kerja warga Gaza dan mengurangi pemberian izin baru.
Lalu pada 2001 Israel membombardir dan menghancurkan Bandara Gaza, tiga tahun setelah dibuka.
Empat tahun kemudian, Israel menarik semua 8.000 warga Yahudi Israel yang tinggal di Gaza secara ilegal.
Israel mengklaim pendudukan Gaza sudah dilonggarkan sejak tentara mereka dan para pemukim Yahudi sudah keluar dari Gaza namun hukum internasional menyatakan Gaza masih dalam wilayah pendudukan Israel karena wilayah udaranya masih dikuasai Negeri Bintang Daud.
Pada 2006 Hamas memenangkan pemilu dan mengambil alih kekuasaan setelah mengalahkan rivalnya, Fatah yang menolak mengakui kekalahan dalam pemilu. Sejak Hamas berkuasa pada 2007 Israel makin memperketat blokade Gaza.
Blokade Israel membuat orang Palestina terputus dari kehidupan kota utama di Yerusalem yang menyediakan rumah sakit, konsulat negara asing, bank, dan sejumlah layanan publik lainnya.
Padahal Perjanjian Oslo 1993 menyatakan Israel harus memperlakukan wilayah Palestina sebagai satu kesatuan politik, tidak terpisah.
Dengan memblokade perjalanan ke Yerusalem Timur, Israel juga memutus akses warga Kristen dan muslim Palestina di Gaza untuk menjalani ibadah keagamaan mereka.
Keluarga terpisah, generasi muda dilarang sekolah ke luar dan bekerja di luar Gaza dan mereka juga sering tidak mendapat izin untuk memperoleh perawatan kesehatan.
Blokade ini bertentangan dengan Konvensi Jenewa Keempat Pasal 33 yang melarang hukuman kolektif untuk mencegah pelanggaran HAM yang lebih luas.
Advertisement
Situasi kemanusiaan
Blokade Israel di Gaza mengakibatkan ekonomi wilayah itu hancur dan PBB menyebut Jalur Gaza sebagai wilayah yang mengalami "kemunduran" artinya perkembangan atau pembangunan tidak terjadi dan justru yang terjadi sebaliknya.
Sekitar 56 persen rakyat Palestina di Gaza miskin dan tingkat pengangguran kaum muda mencapai 63 persen, menurut Biro Pusat Statistik Palestina.
Lebih dari 60 rakyat Palestina di Gaza adalah pengungsi, mereka yang terusir dari rumah mereka di wilayah Palestina yang lain pada 1948, misalnya di Lod dan Ramla padahal mereka hanya berada sekitar beberapa kilometer saja dari rumah asal mereka.
Blokade Israel membuat kebutuhan dasar seperti pangan dan bahan bakar sangat terbatas. Masalah lain juga adalah akses pendidikan, kesehatan, dan air bersih tidak memadai.
Sejak blokade pada 2007 Israel sudah melancarkan operasi militer selama beberapa kali ke Gaza, yaitu pada 2008, 2012, 2014, dan kini 2021. Setiap operasi serangan militer itu membuat kondisi Gaza kian mengenaskan. Ribuan rakyat Palestina terbunuh, termasuk anak-anak dan ribuan rumah hancur, juga sekolah dan gedung perkantoran.
Pembangunan kembali menjadi sulit karena bahan-bahan bangunan seperti besi dan semen dilarang masuk ke Gaza.
Serangan udara Israel juga merusak pipa pembuangan di Gaza, akibatnya air dari saluran pembuangan kerap masuk ke saluran air minum sehingga menyebabkan meningkatnya penyakit.
Menurut PBB, 95 persen air di Gaza tidak sehat untuk diminum.
Upaya untuk memperbaiki kualitas air di Gaza terhambat krisis listrik. Pembangunan saluran air membutuhkan pasokan listrik yang besar. Tanpa pasokan listrik memadai untuk sistem pengairan dan sanitasi, mustahil untuk membangun saluran air.
Kebanyakan warga Gaza mengandalkan pompa listrik untuk mendorong air ke atas bangunan. Tak ada listrik berarti tak ada air.
Tak ada listrik juga menyulitkan siswa sekolah di Gaza. Mereka harus belajar pakai lilin atau lampu gas. Mesin genset bisa untuk menghidupkan listrik tapi suaranya cukup bising dan bahan bakar juga kurang.
Kelompok paling rentan yang terdampak oleh blokade ini adalah mereka yang sakit parah. Pada 2016 Israel hanya mengizinkan kurang dari 50 persen pengajuan keluar Gaza melalui Beit Hanoun untuk kebutuhan perawatan medis.
Blokade Israel membuat kondisi Gaza mengalami bencana kemanusiaan. Pada 2015 PBB memperingatkan memburuknya kondisi di Gaza dalam waktu cepat membuat wilayah itu tidak akan layak huni pada 2020.
Kekuasaan Hamas
Hamas berdiri pada 1987 ketika Intifad pertama meletus dan mendapat banyak dukungan dari rakyat Palestina dalam melawan pendudukan Israel.
Pada 25 Januari 2006, Hamas mengalahkan partai Mahmud Abbas, Fatah, dalam pemilu parlemen. Hamas kemudian mengusir keluar Fatah dari Gaza setelah mereka menolak mengakui hasil pemilu. Sejak 2007 Hamas menguasai Gaza dan Fatah menguasai Tepi Barat.
Fatah dipimpin oleh Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas yang terpilih pada 2005.
Hamas menyebut mereka sebagai gerakan perlawanan dan pembebasan nasional Islam Palestina bertujuan "membebaskan Palestina dan melawan proyek Zionis".
Anggaran dasar Hamas pada 1988 menyebut tujuan mereka membebaskan seluruh wilayah Palestina, termasuk yang saat ini menjadi wilayah Israel. Pada 2017 Hamas mengatakan mereka akan menerima batas wilayah pada 1967 sebagai dasar bagi negara Palestina dengan Yerusalem sebagai ibu kota dan para pengungsi kembali ke tanah mereka.
Hamas tidak mengakui negara Israel dan memilih melakukan perlawanan bersenjata untuk membebaskan wilayah Palestina.
Advertisement
Serangan Israel ke Gaza
Sejak 2007, Israel sudah melancarkan empat operasi militer besar ke Gaza antara 2008 hingga 2021.
Pada 2008 ketika Hamas menyingkirkan Fatah serangan militer Israel berlangsung selama 23 hari. Akibatnya 47 .000 rumah hancur dan lebih dari 1.440 warga Palestina tewas, termasuk sedikitnya 920 warga sipil.
Pada 2012 Israel membunuh 167 orang Palestina, termasuk 87 warga sipil dalam serangan militer delapan hari. Sebanyak 126 rumah dan infrastruktur lainnya hancur, seperti sekolah, rumah sakit, masjid, pemakaman, fasilitas kesehatan dan pusat olah raga serta kantor berita.
Dua tahun kemudian pada 2014 selama 50 hari Israel membunuh lebih dari 2.100 orang Palestina termasuk 1.462 rakyat sipil dan hampir 500 anak.
Pada saat itu 11.00 orang Palestina juga luka dan 20.000 rumah hancur serta 500.000 lebih mengungsi.
Reporter : Pandasurya Wijaya
Sumber : Merdeka
Baca Juga
Rentetan Konflik Terbaru Israel - Palestina
Advertisement