Mengenal Anak Slow Learner, Termasuk Disabilitas Intelektual kah?

Definisi slow learner mengacu pada anak yang kurang memiliki kemampuan pada satu atau lebih bidang akademik.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 19 Mei 2021, 10:00 WIB
Ilustrasi sekolah (dok. Pixabay.com/Wokandapix/Putu Elmira)

Liputan6.com, Jakarta Definisi slow learner mengacu pada anak yang kurang memiliki kemampuan pada satu atau lebih bidang akademik.

Menurut Co-Founder Pijar Psikologi, Regis Machdy, anak slow learner tidak masuk dalam kategori anak-anak dengan IQ rata-rata, tapi juga tidak masuk dalam kategori disabilitas intelektual.

“Kalau kita ngomongin dari term IQ, dia (slow learner) itu berada di antara 75 sampai 90,” ujar Regis dalam kuliah umum di kanal YouTube pribadinya (Regis Machdy), dikutip Selasa (18/5/2021).

Anak slow learner tidak termasuk dalam kategori anak berkebutuhan khusus (ABK), tapi mereka memiliki kesulitan untuk mengikuti kelas reguler.

“Tapi sebenarnya dia masih bisa ikut kelas reguler karena bisa adaptasi dengan sangat baik secara kognitif cuman butuh ekstra pendampingan dalam beberapa mata pelajaran.”

Simak Video Berikut Ini


Dukungan Bagi Slow Learner

Anak slow learner masih bisa bergabung di sekolah biasa dengan catatan pihak sekolah memiliki pengetahuan tentang slow learner dan mengerti cara mendukung anak-anak tersebut.

“Asalkan kita tahu cara membantu dia gimana, kita bisa identifikasi anak yang mana yang perlu bantuan, duduknya ditempatkan di mana, kita pantau apa dia bisa mengerjakan tugas atau tidak.”

Penataan ruang pembelajaran yang dibuat secara efektif dapat membantu anak slow learner dalam mengikuti pelajaran. Guru dapat membuat jarak yang jauh atau dekat sesuai dengan tuntutan pengajaran, kata Regis.

“Posisi duduk disusun untuk meningkatkan perhatian siswa.”

Selama proses belajar, guru dapat memantau dan memberikan penguatan pada perkembangan siswa. Jumlah siswa dalam satu kelas juga diusahakan tidak terlalu banyak sehingga memudahkan guru untuk berinteraksi dan memberikan bantuan.

 Sedapat mungkin, sekolah harus menciptakan lingkungan fisik yang nyaman bagi siswa. Ruang belajar diatur agar tidak terlalu panas atau dingin, terlalu gelap atau terang, dan tidak ribut.

“Penataan ruangan tidak menghalangi guru untuk mengamati perkembangan siswa (clear visual access).”

 Kemudian, lingkungan belajar juga perlu dibuat seaman mungkin untuk menghindari kemungkinan terjadinya cedera, tutup Regis. 

 


Infografis Uji Coba Belajar Tatap Muka Sekolah di Jakarta

Infografis Uji Coba Belajar Tatap Muka Sekolah di Jakarta. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya