Liputan6.com, Jakarta - Diktator Korea Utara Kim Jong-un dilaporkan melarang pemakaian skinny jeans dan gaya rambut mullet bagi warganya. Hal ini dilakukan Kim Jong-un dalam upaya mengendalikan kaum muda.
Dilansir dari laman Mirror, Selasa (18/5/2021), Kim Jong-un disebutkan takut akan pengaruh Barat yang "menurunkan martabatnya" pada pemuda di Korea Utara, di tengah kekhawatiran hal tersebut dapat menyebabkan runtuhnya rezimnya.
Baca Juga
Advertisement
Ripped dan skinny jeans, serta potongan rambut mewah, semuanya dipandang sebagai tanda "invasi gaya hidup kapitalistik", klaimnya. Kim, yang diyakini kian cemas akan digulingkan, sebelumnya telah memutuskan bahwa orang yang kedapatan mengikuti mode harus dikirim ke kamp kerja paksa.
Surat kabar negara The Rodong Sinmun, meluncurkan seruan baru agar barang-barang semacam itu dijauhkan karena takut membuat negara "runtuh seperti tembok lembap".
"Sejarah mengajarkan kita pelajaran penting bahwa sebuah negara bisa menjadi rentan dan akhirnya runtuh seperti tembok lembap terlepas dari kekuatan ekonomi dan pertahanannya jika kita tidak berpegang pada gaya hidup kita sendiri," demikian bunyi dalam editorial akhir pekan lalu.
"Kita harus waspada bahkan pada tanda sekecil apapun dari gaya hidup kapitalistik dan berjuang untuk menyingkirkannya," lanjut keterangan di surat kabar Korea Utara itu.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ragam Larangan
Menurut Kantor Berita Yonhap, rezim Kim telah memberlakukan hukuman yang lebih keras bagi mereka yang ditemukan memiliki video yang dibuat di Korea Selatan. Rambut yang diwarnai dan tindikan juga tidak dapat diterima, klaim laporan itu.
Dilansir dari laman Express, menurut Daily NK, Youth League provinsi merilis perintah tentang gaya rambut yang "pantas". Dokumen itu menyebut mullet dan gaya rambut tidak sah lainnya adalah "perilaku anti-sosialis" dan merupakan bagian dari "angin kuning kapitalisme".
Pejabat Pyongyang di Korea Utara juga menindak musik pop menyusul kesuksesan band K-pop Korea Selatan seperti BTS dan Blackpink. Salah satu situs propaganda rezim telah membandingkan musik pop dengan "perbudakan" dan menyebut orang terikat dengan "kontrak yang sangat tidak adil".
Advertisement