Liputan6.com, Jakarta Sekelompok ilmuwan di California, Amerika Serikat berhasil membuat seorang pria 65 tahun yang lumpuh dari leher ke bawah, untuk menulis dengan menggunakan sensor yang diimplan di otaknya.
Sensor di otak tersebut mendeteksi aktivitas saraf yang terkait dengan menulis tangan. Saat sukarelawan penelitian membayangkan menulis surat, aktivitas itu dimasukkan dalam algoritma yang menerjemahkannya secara real time ke teks yang ditampilkan di layar.
Advertisement
Salah satu penulis studi Krishna Shenoy, peneliti di Howard Hughes Medical Institute Stanford University mengatakan bahwa metode ini tampaknya lebih berpotensi dibandingkan penelitian serupa yang mencoba menerjemahkan ucapan.
"Dengan menggunakan tulisan tangan untuk merekam ratusan neuron individu, kita dapat menulis huruf apa pun dan dengan demikian kata apa pun yang memberikan 'kosakata terbuka' yang benar-benar dapat digunakan dalam hampir semua situasi kehidupan," kata Shenoy.
Dikutip dari CNET pada Rabu (19/5/2021), peneliti berharap dengan adanya sistem ini, orang dengan kelumpuhan dapat mengetik dan berkomunikasi secara efisien tanpa menggunakan tangan.
Startup yang didukung oleh Elon Musk, Neuralink, juga dilaporkan sedang mengerjakan teknologi implan otak serupa.
Simak Juga Video Menarik Berikut Ini
Ikut Penelitian BrainGate2
Sukarelawan tersebut sendiri dijuluki sebagai T5. Dikutip dari The Guardian, ia kehilangan fungsi tubuhnya usai kecelakaan yang membuatnya cedera pada sumsum tulang belakangnya di 2007.
Sembilan tahun kemudian, T5 mendaftar uji klinis yang disebut BrainGate2 yang meneliti keamanan dari brain-computer interfaces. Ini adalah cip komputer kecil yang bisa ditanamkan dan membaca aktivitas listrik langsung dari otak.
T5 lalu dipasangi dua cip komputer kecil yang membawa 100 elektroda, yang ditempatkan di sisi kiri otaknya di mana neuron mengirim sinyal untuk mengontrol tangan kanan.
Ketika terkoneksi dengan sistem, T5 berhasil menulis 18 kata dalam semenit. Dalam sebuah surat individu, tulisan pikirannya mencapai akurasi hingga lebih dari 94 persen.
Frank Willett, peneliti Stanford di studi itu mengatakan, pendekatan tersebut membuka pintu untuk memecahkan kode tindakan imajiner lain, seperti mengetik dengan sentuhan 10 hari dan mencoba berbicara pada orang yang kehilangan suaranya secara permanen.
"Alih-alih mendeteksi huruf, algoritme akan mendeteksi suku kata, atau lebih tepatnya fonem, unit dasar ucapan," katanya.
Advertisement
Masih Tahap Penelitian
Willet dan rekan-rekannya pun meminta T5 membayangkan sedang memegang pena di atas selembar kertas lalu kemudian mencoba menulis huruf-huruf alfabet meski dia tidak bisa menggerakkan lengan dan tangannya.
Di situ, peneliti merekam aktivitas dari wilayah otak yang mengontrol gerakannya.
Para ilmuwan menemukan bahwa lebih dari 10 tahun setelah kecelakaan itu, otak manusia masih menghasilkan pola aktivitas saraf yang berbeda untuk setiap huruf dan berbagai tanda baca.
Dalam laporan penelitian yang dimuat di jurnal Nature, beberapa huruf memang lebih sulit dibedakan dari yang lain, contohnya r, h, dan n. Hal ini karena mereka membutuhkan gerakan dan aktivitas otak yang serupa.
Selain itu, belum diketahui seberapa baik algoritma bekerja untuk bahasa yang tidak berdasarkan alfabet Romawi. Contohnya bahasa Tamil yang memiliki 247 huruf, yang banyak di antaranya terlihat serupa.
Meski begitu, mengingat hal tersebut masih dalam tahap penelitian, dibutuhkan waktu sebelum sistem semacam ini dapat digunakan secara luas.
Infografis GeNose, Alat Deteksi Cepat Covid-19 Karya Anak Bangsa
Advertisement