Liputan6.com, Jakarta Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Nonaktif Sujanarko membeberkan sejumlah 'dosa' yang dilakukan Firli Bahuri dan pimpinan KPK lainnya melalui poin aduan dugaan maladministrasi yang dilakukannya ke Ombudsman Republik Indonesia.
Aduan ini dilakukan Sujanarko mewakili 75 pegawai KPK yang bernasib sama dengannya, dinonaktifkan usai dinyatakan tidak memenuhi syarat beralih status menjadi ASN karena tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK).
Advertisement
"Pertama, Pimpinan KPK menambahkan metode alih status Pegawai KPK, bukan hanya melalui pengangkatan tetapi juga melalui pengujian. Keduanya bertolak belakang dan masing-masing metode memiliki implikasi hukum dan anggaran yang berbeda," kata Sujanarko dalam keterangan tertulis, Rabu (19/5/2021).
Menurut dia, hal itu tertuang dalam Pasal 20 Ayat (1) Peraturan Nomor 1 Tahun 2021 tidak merinci metode pengujian tes wawasan kebangsaan. Sehingga bertentangan dengan prisnip-prinsip hukum dan hak asasi manusia dan kepastian hukum.
"Poin berikutnya, pimpinan KPK membuat sendiri kewenangan untuk menyelenggarakan tes wawasan kebangsaan yang tidak diatur dam UU Nomor 5/2014 tentang ASN dan UU 19/2019 tentang KPK dan PP 41/2020 tentang Alih Status Pegawai KPK," tegas Sujanarko.
Dia juga meyakini, Pimpinan KPK melibatkan lembaga lain melaksanakan TWK untuk tujuan selain alih status pegawai KPK. Padahal, keputusan itu bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (1) PP 41/2020 dan Pasal 18 dan 19 Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021.
"Pimpinan KPK juga menggunakan metode pengujian melalui TWK sebagai dasar pengangkatan pegawai KPK, padahal tidak ada ketentuan dalam Peraturan KPK 1/2021 yang menyatakan demikian," yakin Sujanarko.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Konsekuensi Hasil TWK
Terakhir, Sujanarko menilai, pimpinan KPK menambahkan sendiri konsekuensi dari tes wawasan kebangsaan sehingga melampaui kewenangan.
"Ini bertentangan dengan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVUU/2019," dia menandasi.
Advertisement