Liputan6.com, Jakarta - Hasil merger Gojek dan Tokopedia yang menghadirkan GoTo disebut tidak akan mendominasi pasar digital di Indonesia. Sebaliknya, hal itu akan mendorong penguatan ekonomi digital di Indonesia, terutama sektor UMKM.
Kedepannya, kehadiran GoTo diprediksi akan menciptakan daya saing ekonomi digital menghadapi produk dan platform digital asing. Seperti Shopee dan Grab, perusahaan asal Tiongkok dan Malaysia yang turut andil di pasar digital Indonesia.
Advertisement
Kepala Center of Innovation and Digital Economy Indef, Nailul Huda, menilai kolaborasi Gojek dan Tokopedia akan memperkuat bisnis masing-masing.
Ia berharap, kedepannya pasar akan semakin meluas dan aktivitas ekonomi melalui ekosistem GoTo Group semakin efisien. Kemudian, strategi yang dikembangkan GoTo akan memberikan banyak manfaat bagi sektor UMKM dan juga para konsumennya.
”Ketika sebuah perusahaan berhasil membentuk ekosistem kompleks dan variatif, dampaknya valuasi ekonomi akan meningkat. Dengan nilai valuasi yang tinggi dan ekosistem kuat maka fundamental bisnis GoTo juga makin kokoh,” katanya, dalam rilis yang diterima Tekno Liputan6.com, Jumat (21/5/2021).
GoTo Perlu Tetap Bersaing dengan Kompetitor
Ia menilai GoTo Group juga menjamin keberlanjutan jangka panjang bisnisnya. Kendati kedepannya GoTo perlu tetap bersaing dengan kompetitor masing-masing.
Misalnya, Gojek masih tetap harus bersaing dengan Grab serta pesaing baru di bidang yang sama seperti Bonceng, Anterin, Maxim, dan lainnya. Sementara Tokopedia saat ini bersaing ketat di bisnis e-commerce dengan Shopee, Lazada, Bukalapak, JD.ID, Blibli, dan lain.
Menurut Nailul, terlalu jauh menyamakan kehadiran GoTo di Indonesia dengan dominasi Alibaba Group di Tiongkok yang kemudian menciptakan monopoli.
”Untuk GoTo, kolaborasi ini akan meningkatkan kemampuan bersaing di tingkat ASEAN dan domestik yang akan semakin ketat,” tuturnya
Advertisement
Bersaing dengan Barang Impor
Nailul menambahkan, kewaspadaan terbesar dari ekonomi digital di sektor e-commerce adalah kegiatan dumping yang dilakukan dengan cara menjual barang dari luar negeri pada harga murah sehingga bisa membuat pelaku usaha Indonesia khususnya UMKM menyerah.
ia menyoroti soal tipe konsumen e-commerce yang teridentifikasi price oriented consumer, artinya yang mengincar barang dengan harga murah.
”Untuk impor masih akan jadi ancaman. Memang layanan cross border ditutup tapi yang jadi masalah bukan itu. Banyak juga seller Indonesia tapi jual barang impor. Mereka impor dari logistik biasa terus dijual lagi dengan harga murah,” tuturnya.
Kendati demikian, Nailul berharap pemerintah bisa memberikan solusi supaya UMKM lokal bisa bersaing dengan barang impor. Produk lokal kurang bisa bersaing dari sisi harga karena terkait dengan kapasitas produksi yang memengaruhi biaya produksi
”Misalnya batik dari Tiongkok murah sekali bisa Rp 30 ribu sedangkan batik dari Indonesia dijual Rp 90 ribu sampai Rp 150 ribu. Distribusi logistik juga termasuk. Biaya pengiriman dari Tiongkok lebih murah ke Jakarta ketimbang biaya dari Sidoarjo ke Jakarta. Ini harus dituntaskan juga masalah biaya pengiriman yang tidak efisien,” tuturnya.