Liputan6.com, Jakarta Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah menyatakan, kerangka usulan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 dari pemerintah masih bersifat normatif. Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan masih di bawah 6 persen.
Dia mengatakan, seharunya pemerintah bisa lebih berani mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di mana kepala negara ingin ekonomi domestik tumbuh di kisaran 6-7 persen.
Advertisement
"Seharusnya pemerintah bisa berani lebih mendorong pertumbuhan sesuai dengan keinginan presiden di 6-7 persen. Tapi pemerintah masih berkutat di 5,2-5,8 persen," jelasnya di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (20/5/2021).
Kendati begitu, Said juga memahami pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah tersebut mempertimbangkan berbagai keadaan. Di mana pada 2022 defisit APBN masih berada dikisaran 4,2 persen-4,9 persen.
"Saya berharap defist 4,5 persen. Supaya softlandingnya nyamapai di 2023 supaya APBN normal di 3 persen defist kita," pungkasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Indikator Ekonomi Makro 2022
Sebelumnya, Pemerintah Jokowi mengusulkan indikator ekonomi makro untuk pertumbuhan ekonomi dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 sebesar 5,2 persen sampai dengan 5,8 persen. Sementara inflasi berada di kisaran 2,0 sampai 4.0 persen.
"Dokumen yang kami serahkan hari ini akan digunakan sebagai bahan pembicaraan pendahuluan di dalam penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN Tahun 2022," ujar Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam Sidang Paripurna DPR RI Masa Persidangan V Tahun Sidang 2020-2021, Kamis (20/5/2021).
Selain itu, pemerintah juga mengusulkan tingkat suku bunga SUN 10 Tahun sebesar 6,32 - 7,27 persen,nilai tukar Rupiah Rp13.900 - Rp15.000 per USD, harga minyak mentah Indonesia USD55 - 65 per barel.
Kemudian untuk lifting minyak bumi diusukan sebesar 686 - 726 ribu barel per hari dan lifting gas bumi 1.031 - 1.103 ribu barel setara minyak per hari.
"Belajar dari kondisi dinamika dalam penanganan Covid-19 dan dampaknya yang sangat luas, juga tantangan struktural yang harus diatasi dalam perekonomian kita, maka arsitektur kebijakan fiskal harus bersifat antisipatif, responsif, dan pragmatis, namun tetap fokus pada tercapainya tujuan jangka panjang," pungkasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement