Prediksinya, Seluruh Pelanggan Listrik Beralih ke PLTS Atap di 2031

PT PLN (Persero) memantau fenomena bisnis pemakaian listrik menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 20 Mei 2021, 19:15 WIB
Panel solar untuk sumber listrik tenaga surya terpasang di atap Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (22/2/2021). Selain itu, masjid terbesar se-Asia Tenggara ini memiliki pembangkit listrik tenaga surya yang terpasang di atap. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta PT PLN (Persero) memantau fenomena bisnis pemakaian listrik menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap atau PV rooftop yang tengah marak saat ini, baik yang dilakukan individu atau pelaku industri.

EVP of Engineering and Technology PLN Zainal Arifin mengemukakan, pihaknya telah membuat kajian, pemasangan PLTS atap baik menggunakan skenario bisnis net metering/feed in tarif/subsidi, semuanya menunjukan hasil positif.

"Artinya dari kacamata developer, dari kacamata yang membangun, PV rooftop itu akan balik modal, visible secara ekonomi," kata Zainal dalam sesi webinar, Kamis (20/5/2021).

Berdasarkan temuan tersebut, PLN kembali membuat studi pada 2019 untuk menemukan, pada tahun berapa pelanggan listrik kira-kira bisa independen dari jaringan PLN dengan menggunakan PLTS atap di atas rumahnya.

Kesimpulan pertama, Zainal mengungkapkan, fenomena pemakaian listrik menggunakan PLTS atap merupakan hal yang unstopable alias tak bisa dihentikan. Dia lantas berkesimpulan, pemasangan PLTS atap akan lebih murah dari tarif listrik konvensional pada 2031 mendatang.

"Artinya, masih ada waktu buat PLN. Karena sebelum tahun 2031 berarti para pelanggan PLN baik yang residencial maupun industri itu masih akan connected dengan jaringannya PLN. Tapi di tahun 2031, itu mereka bisa independen dari jaringan PLN," ungkapnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Selanjutnya

Teknisi melakukan perawatan panel pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di atap Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (6/8/2019). PLTS atap yang dibangun sejak 8 bulan lalu ini mampu menampung daya hingga 20.000 watt. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Zainal kemudian coba membuat narasi, bahwa disruptive teknologi seperti PLTS atap suka tidak suka memang akan mengganggu bisnis terhadap utility company seperti PLN dan jaringan listriknya.

Dalam tataran praktikal, ia lantas mengacu pada satu poweplant di California, Amerika Serikat (AS) yang terpaksa shutdown pada tahun kelimanya di 2020 lalu lantaran kalah saing dengan produk energi terbarukan.

"Sehingga pengelola rugi USD 1 miliar, karena mustinya (secara kontrak) 25 tahun tapi 5 tahun harus di-shutdown. Yang membunuh gas turbin itu bukan kompetitor seperti Mitsubishi atau Siemens, tapi battery energy storage," tuturnya.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya