Liputan6.com, Jakarta tujuh puluh lima pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan lima pimpinannya ke Dewan pengawas KPK. Langkah ini diambil usai Presiden Joko Widodo atau Jokowi angkat bicara terkait nasib puluhan pegawai antirasuah yang terancam dinonaktifkan oleh Ketua KPK Firli Bahuri.
Ada tiga poin yang mendasari pelaporan para pegawai tersebut ke Dewas KPK. Pertama tentang kejujuran. Kedua pelaporan Pimpinan KPK kepada Dewas yakni lantaran kepedulian terhadap para wanita. Dalam TWK terindikasi pertanyaan yang sifatnya seksis. Kemudian, ketiga adalah terkait kesewenang-wenangan.
Advertisement
Ketua KPK Firli Bahuri menyebut pihaknya akan segera membahas status 75 pegawai lembaga antirasuah yang dinonaktifkan pada Selasa 25 Mei 2021, pekan depan.
"Yang pasti hari Selasa, kita akan melakukan pembahasan secara intensif untuk penyelesaian 75 pegawai KPK, rekan-rekan kami, adik-adik saya, bagaimana proses selanjutnya tentu melibatkan kementerian dan lembaga lain," ujar Firli di Gedung KPK, Kuningan, Kamis (20/5/2021).
Firli memastikan bakal mengikuti perintah Presiden Jokowi yang meminta agar 75 pegawai KPK tak dipecat. Firli menyatakan dirinya mengapresiasi Jokowi yang peduli dengan kinerja pemberantasan korupsi.
"Karena sesungguhnya kalau ada perintah Presiden tentulah kita tindaklanjuti. Tetapi menindaklanjutinya tidak bisa sendiri, tidak bisa hanya KPK saja," kata Firli.
Firli menyatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kemenpan RB, Lembaga Administrasi Negara, Badan Kepegawaian Nasional, hingga Komisi Aparatur Sipil Negara.
Firli menyebut koordinasi akan segera dilakukan mengingat ada batas waktu dalam undang-undang soal peralihan status pegawai KPK.
"Diamanatkan juga bahwa proses pengalihan pegawai KPK menjadi ASN diberikan waktu 2 tahun. Kalau kami hitung hari ini sudah setahun setengah, karena Undang-undang Nomor 19/2019 disahkan pada tanggal 17 Oktober 2019, berarti Kami punya waktu hanya tinggal 4 bulan," kata Firli.
Dia mengklaim tak pernah berpikir memecat 75 orang pegawai yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). 75 pegawai KPK diketahui dinonaktifkan Firli lantaran tak lolos tes alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) tersebut.
"Bagaimana (pegawai) yang 75? Kami ingin pastikan sampai hari ini, tidak pernah KPK memberhentikan, tidak pernah KPK memecat, dan tidak pernah juga berpikir KPK untuk memberhentikan dengan hormat maupun tidak hormat," ujar Firli.
Menurut dia, proses peralihan status pegawai menjadi ASN di lembaganya berjalan transparan. Firli memastikan tidak ada persoalan signifikan antar pegawai, baik dengan pimpinan KPK maupun pejabat struktural lainnya.
Firli mengklaim sudah ada penjelasan terbuka dalam rapat paripurna yang digelar pihaknya.
"Jadi tidak ada yang bisa kami tutupi, semua ada. Dan hasil TWK kami buka tanggal 5 Mei, kenapa? Karena kami menunggu dan menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada tanggal 4 Mei 2021 sampai dengan jam 20.00 malam," kata Firli.
Terkait dengan 1.274 pegawai KPK lolos TWK, Firli menyebut akan segera dilantik menjadi ASN. Dia juga memastikan komunikasi pihaknya dengan stakeholder terkait berjalan lancar mengenai ini.
"InsyaAllah mudah-mudahan semua bisa lancar dan pada saatnya mereka akan lakukan pelantikan dengan status ASN. Komunikasi terus berlangsung dan insyaAllah bisa lancar," kata dia.
Sementara, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri mengatakan, pelaporan terhadap pimpinan yang dilayangkan 75 pegawai yang lolos TWK tersebut sebenarnya tidak mengganggu ritme kerja di lembaga tersebut.
"Tidak (terganggu)," ujar Ali Fikri, Kamis (20/5/2021).
Dia memastikan, para pimpinan yang dilaporkan dan pegawai yang tidak dinonaktifkan masih bekerja seperti sedia kala.
"Sejauh ini khusus pekerjaan pada kedeputian penindakan masih berjalan. Demikian juga program dan kegiatan pada kedeputian yang lain. Perlu kami sampaikan bahwa di KPK telah terbangun sistem kerja yang terstruktur dengan baik," kata Ali.
Ali mengatakan, pekerjaan di lembaga antirasuah tak pernah terpengaruh oleh apa pun dan siapa pun. Setiap pekerjaan selalu mendapat pengawasan yang baik oleh atasan masing-masing.
"Kerja-kerja di KPK, di seluruh kedeputian dilakukan tidak ada yang individual, namun secara tim dalam bentuk satgas yang dipimpin ketua tim atau kasatgas dengan kontrol dari direktur masing-masing direktorat sebagai atasan langsungnya," kata dia.
Pertaruhan KPK
Manajer Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko melihat keputusan yang dilalukan oleh para pimpinan KPK terlalu memaksakan. Pasalnya sudah jelas dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan pertimbangan Mahkamah Konstitusi bahwa peralihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan mereka.
"Maksud saya, lima pimpinan tadi itu masih tetap ngotot untuk menggunakan itu sebagai basis. Bahkan awalnya kan memberhentikan, terus kemudian ada produk publik menonaktifkan, terus kemudian presiden menyatakan harus tunduk pada undang-undang, peraturan pemerintah, dan putusan MK baru, sekarang bingung kan," kata Wawan kepada Liputan6.com, Kamis (20/5/2021).
Dia pun melihat, ini sudah masuk dalam ranah pelanggaran etik. "Lima pimpinan KPK ini perlu dilaporkan ke Dewas, sudah sangat tepat sekali. Dan menurut saya, Dewas juag perlu memeriksa ini secara tepat juga," jelas Wawan.
Menurutnya, di sinilah peran Dewas untuk bisa dipandang publik dengan melalukan pemeriksaan secara ketat. Karena menurutnya, beberapa kesempatan Dewas KPK belum teruji kinerjanya, bahkan ada yang membela TWK.
"Makanya masyarakat itu juga mendorong beberapa nama Dewas yang setuju TWK itu, dan setuju 75 itu diberhentikan atau dinonaktifkan diperiksa juga," ungkap Wawan.
Menurut Wawan, pemerintah, KPK justru membentuk tim independen untuk memeriksa para Dewas juga.
"Karena kan ini yang selalu kita perdebatkan. Dewas ini yang ngawasin siapa? Jadinya ini tantangan bagi KPK sebagai lembaga, mereka juga harus akuntabel. Ketika Dewas melanggar etik dan sebagainya, dia juga harus diperiksa," kata Wawan.
Di sisi lain, dia meminta Dewas KPK harus memeriksa secara transparan kasus pelaporan 75 pegawai tersebut. "Dewas ini kan dibentuk dengan mandat untuk menegakkan etik secara transparan, akuntanbel," tutur Wawan.
Menurut dia, ini menjadi pertaruhan bagi KPK. Karena semakin hari citranya menurun."publik sudah tidak percaya. Tapi bagi saya, KPK sebagai penyelamat gerakan anti korupsi ini harus ada. Ini kan yang diperiksa kan etiknya, soal upaya pencegahan, pendidikan masyarakat, bahkan penindakan hukumnya kan masih jalan," kata Wawan.
Dari kasus ini, pimpinan KPK perlu belajar dari aturan yang ada. Jangan sampai menempatkan kepentingan pribadi atau apapun sehingga harus keluar dari undang-undang.
"Jadi bukan 75 lolos, tetapi adalah bagaimana negaradan KPK sebagai lembaga negara itu konsisten dengan undang-undang," jelas Wawan.
Selain itu, dia melihat ini momentum bagi KPK untuk melakukan perbaikan. Bahkan evaluasi kinerja bagi pimpinan antirasuah tersebut.
"Bahkan ini bisa menjadi momentum Ketua KPK itu dilengserkan berikut wakil ketuanya. Kenapa? Ya karena sudah gagal memahami dan punya kepentingan yang sudah jauh melampaui undang-undang. Jadi ini tidak lagi bicara like and dislike, bukan. Tetapi kita sudah bicara soal bagaimana negara ini dikelola," kata Wawan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Menguji KPK
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman melihat, pelaporan para pimpinan KPK ini menguji soal TWK yang disepakati, padahal sudah jelas bahwa sudah diatur dalam undang-undang tidak diatur mengenai hal tersebut.
"Yang perlu dilakukan adalah melakukan alih status pegawai KPK menjadi ASN, bukan melakukan seleksi ulang atau pun pengadaan baru pegawai. Sehingga perlu dibuat jelas mengapa pimpinan KPK membuat tes wawasan kebangsaan tersebut yang sebenarnya tidak ada perintahnya di dalam peraturan pemerintah maupun undang-undang," kata Zaenur kepada Liputan6.com, Kamis (20/5/2021).
Dia juga memandang, laporan para pegawai tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban pimpinan KPK atas TWK, lantaran banyak yang memandang hal tersebut tidak layak, diskriminatif bahkan mengandung unsur pelecehan.
"Atas tes yang sangat tidak pantas tersebut, maka perlu ada pihak yang bertanggungjawab. Tes tersebut disusun bekerjasama dengan pihak eksternal tetapi yang memerintahkan adanya tes tersebut dan bagaimana metodenya kan itu adalah pimpinan KPK. Sehingga perlu dilakukan audit secara menyeluruh terhadap berjalannya tes wawasan kebangsaan tersebut," ungkap Zaenur.
Menurut dia, audit itu penting dilakukan agar dikemudian hari tidak lagi ada yang mencoba menggunakan cara tersebut. Terlebih jika terbukti digunakan untuk menyingkirkan pihak tertentu.
Zaenur pun memandang apa yang dilakukan Jokowi dalam hal ini melakukan intervensi sebagai hal yang positif. Karena sebenarnya menyelesaikan masalah 75 pegawai KPK tersebut.
"Intervensi oleh Presiden ini benar secara hukum saat ini dan dimungkinkan, karena pegawai KPK itu sedang dialihkan menjadi ASN sedangkan Presiden adalah pembina tertinggi kepegawaian ASN," jelas Zaenur.
"Tapi sampai saat ini, sayangnya pimpinan KPK juga tidak segera mencabut perintah kepada para pegawai KPK untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsungnya, meskipun sudah ada arahan dari Presiden Jokowi," lanjut dia.
Zaenur memandang, dengan maslaah ini jelas membuat KPK sibuk mengurusi internalnya, alih-alih fokus pada pemberantasan korupsi.
"Tapi menurut saya memang pelaporan itu harus dilakukan, karena sangat kuat dugaan ada pelanggaran etik di situ," kata Zaenur.
Advertisement
Segera Dilakukan Pemeriksaan
Politikus PKS Mardani Ali Sera memandang, laporan tersebut harus segera diproses oleh Dewas KPK.
"Karena itu bagian dari akuntabilitas dan pertanggungjawaban publik. Apalagi laporan untuk kasus ini masalah besar dan super serius. Bisa masuk pelanggaran keputusan MK yang final dan mengingkat, serta berpotensi melemahkan KPK ini," kata Mardani kepada Liputan6.com, Kamis (20/5/2021).
Selain itu, proses ini juga mengajak publik menjaga pelemahan terhadap KPK ini. "Karena akan selalu ada serangan balik dari pelaku korupsi kepada institusi yang istiqomah memberantas korupsi," ungkap Mardani.
Menurut dia, pimpinan KPK juga harus segera mengambil keputusan.
"Jika dalam sepekan ini pembatalan surat penonaktifan 75 pegawai KPK tidak dilaksanakan, berarti semua arahan Presiden dan pendapat para pengamat tidak didengar. Ini kejadian luar biasa dan patut kita kawal," kata Mardani.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh meminta KPK segera mengambil sikap usai pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang tak setuju dengan penonaktifkan 75 pegawai antirasuah yang tak lolos TWK.
"Kami juga berharap ada keputusan yang tepat dan cepat, agar pemberantasan korupsi di tanah air dapat berjalan dengan lebih baik lagi," kata Pangeran.
Menurut dia, KPK harus mengambil jalan tengah untuk menyikapi polemik TWK untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) ini.
"Agar ada win-win solution dan langkah-langkah yang bijaksana, agar pegawai KPK yang memiliki integritas, dan selama ini berprestasi, dan menunjukkan komitmen terhadap pemberantasan korupsi haruslah tetap dipertahankan," ungkap politisi PAN ini.
Dia menegaskan, 75 pegawai KPK tersebut harus bisa tetap bekerja.
"Agar tupoksi KPK dapat berjalan lebih baik sebagaimana harapan presiden dan harapan kita semua," kata Pangeran.
Adapun fungsi Dewas KPK sesuai adalah:
a). Mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b). Memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan;
c). Menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi;
d). Menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini;
e). Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi
f). Melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala satu kali dalam satu tahun.