Liputan6.com, Jakarta - Pandemi COVID-19 memukul semua aspek kehidupan, termasuk lingkungan. Begitu banyak masalah lingkungan menumpuk akibat wabah virus corona tersebut.
COVID-19 mulai masuk ke Indonesia pada Maret 2020. Hingga Kamis (20/5/2021), sudah lebih dari 1,7 juta orang Indonesia terinfeksi virus asal Wuhan, Tiongkok tersebut. Sekitar 48 ribu di antaranya meninggal dunia.
Baca Juga
Advertisement
Selama pandemi, pemerintah menerapkan pembatasan demi memotong rantai penularan virus. Masyarakat dianjurkan untuk melakukan segala aktivitas di rumah. Mulai dari beribadah, sekolah hingga bekerja.
Hasilnya, secara kasatmata, langit di wilayah Indonesia, khususnya Jakarta, terlihat lebih biru dan cuaca cerah terasa membawa udara yang segar. Citra satelit dan analisis yang disusun oleh Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengungkapkan konsentrasi NO2 atau di Jakarta turun 33% selama 2020.
Meski demikian, menurut Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, tingkat polusi PM2.5 di Jakarta tetap tinggi.
PM2.5 merupakan jenis polutan paling berbahaya, yang terdiri dari natrium klorida, amonia, karbon hitam, debu mineral, dan air. Ukurannya sangat kecil sehingga bisa masuk ke dalam paru-paru dan sistem peredaran darah manusia.
Semakin tinggi partikel ini terhirup ke dalam tubuh, maka semakin berpotensi mengakibatkan berbagai penyakit. Karena itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi ambang batas aman rata-rata tahunan PM2.5 hanya sebesar 10 µg/m³.
"Kalau bicara tahunan, ya memang 2020 lebih baik dari 2019. Tapi PM2.5-nya masih melebihi baku mutu udara ambien. Kalau kita lihat data tahunan ternyata PM2.5 di Jakarta pada 2020, kalau tidak salah di atas 35 µg/m³. Ini masih melebihi baku mutu udara ambien untuk tahunan yaitu 10 µg/m³," kata Bondan kepada Liputan6.com.
Ia menjelaskan, baku mutu udara ambien dibuat atas dasar kaidah penelitian. "Artinya ketika angkanya sudah melebihi standar, harusnya ada sesuatu yang diperhatikan. Harusnya ada kontrol terhadap sumber-sumber pencemaran udaranya."
Di negara-negara yang menerapkan lockdown, polusi udaranya jauh berkurang. Sementara di Indonesia, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak terlalu signifikan memberi dampak.
"Di luar negeri, memang sangat erat kaitannya dengan lockdown, kemudian polusi udara dan lingkungan membaik. Di Indonesia kalau bicara lockdown saja masih diperdebatkan. Kita kan tidak menerapkan lockdown, jadi semua masih beraktivitas, walaupun ada pembatasan. Artinya, aktivitas manusia hanya sebagian yang dibatasi," ucap Bondan.
Saksikan Video Berikut Ini
Kualitas Udara Tetap Buruk
Dengan nilai PM2.5 yang cukup tinggi, kualitas udara selama masa PSBB di Jakarta masuk dalam kategori sedang hingga tidak sehat untuk kelompok sensitif.
Selama PSBB, penurunan konsentrasi NO2 di Jakarta sebagian besar disebabkan oleh penurunan kegiatan pada sektor transportasi dan industri. Namun, sumber pencemar utama, seperti pembangkit listrik tenaga batubara yang berlokasi di luar Jakarta, termasuk pembangkit listrik tenaga batubara Suralaya di Banten, terus beroperasi seperti biasa.
Khususnya, NOx dari sumber tersebut dapat teroksidasi untuk membentuk PM2.5, yang merupakan partikel mikro yang memiliki periode bertahan lama di atmosfer dan dapat terbang cukup jauh. Karena lintasan angin yang berlaku, polutan PM2.5 dari pembangkit batubara ini mencapai wilayah Jakarta selama periode PSBB, dan mempengaruhi kualitas udara di ibukota.
"Greenpeace mendesak pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk menambah stasiun pemantauan kualitas udara yang dapat mewakili Jakarta secara keseluruhan, menyediakan sistem transportasi publik terintegrasi, dan berkoordinasi dengan pemerintah Jawa Barat dan Banten untuk mengendalikan polusi udara lintas batas," kata Bondan.
Nomor 9 Terburuk
Selain Jakarta, laporan tahunan lembaga pemantau kualitas udara, IQAir, juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ke-9 sebagai negara dengan kualitas udara paling buruk sepanjang 2020.
Konsentrasi tahunan rata-rata PM2.5 di Indonesia dalam satu meter kubik adalah 40,7 atau masuk kategori tidak sehat bagi umum dan individu sensitif serta menyebabkan iritasi dan gangguan pernapasan.
"Pada 2020 di tengah langkah-langkah untuk menahan pandemi COVID-19, konsentrasi PM2.5 rata-rata tahunan setiap kota di Indonesia menurun," tulis IQAir.
Bila dibandingkan laporan IQAir 2019, kondisi kualitas udara di Indonesia memang sedikit membaik. Pada 2019 Indonesia berada di peringkat ke-6 sebagai negara paling tercemar udaranya dengan rata-rata konsentrasi PM2.5 sebesar 51,7 per meter kubik udara. Namun, tetap saja kualitas udara Indonesia tidak baik.
IQAir juga memperingatkan pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi yang cepat di Indonesia kemungkinan besar akan berkontribusi pada memburuknya kualitas udara di masa depan.
"Kecuali ada tindakan lebih lanjut dari pemerintah untuk mengendalikan emisi," demikian bunyi laporan tersebut.
Advertisement
Limbah Medis
Bukan hanya kualitas udara yang tetap buruk selama pandemi, masalah limbah medis juga jadi persoalan baru.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dari periode 19 Maret 2020 hingga 4 Februari 2021, terdapat 6.417,95 ton timbulan limbah COVID-19. Timbulan limbah terbesar berada di DKI Jakarta dengan 4.630,86 ton.
Angka itu belum termasuk limbah medis yang dihasilkan dari proses vaksinasi COVID-19 yang telah dimulai pada Januari 2021 dan ditargetkan dilakukan pada 181 juta orang.
Pengelolaan limbah medis COVID-19, khususnya yang dihasilkan oleh fasilitas pelayanan kesehatan, harus dikelola dengan dimusnahkan di insinerator berizin milik rumah sakit dan diserahkan kepada jasa pengelola limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang memiliki izin dari KLHK.
Dari 2.867 rumah sakit di seluruh Indonesia yang rata-rata menghasilkan timbulan sampah 383 ton per hari, jumlah rumah sakit yang memiliki izin pengolahan limbah B3 per 19 Februari 2021 adalah 120 fasilitas dengan kapasitas pengolahan limbah 74,5 ton per hari. Selain itu, terdapat jasa pengolahan limbah B3 sebanyak 20 perusahaan dengan total kapasitas penanganan 384 ton per hari.
Direktur Eksekutif Walhi, Nur Hidayati, mengatakan, yang harus jadi perhatian bukan hanya limbah medis di rumah sakit, tapi juga limbah medis yang berada di masyarakat.
"Limbah medis itu harus ada special treatment. Kalau di rumah sakit mungkin mereka sudah punya sistem pengelolaan limbah medisnya sendiri. Cuma yang perlu kita berikan perhatian lebih adalah limbah-limbah masker yang ada di masyarakat," kata Nur Hidayati kepada Liputan6.com.
"Ini menjadi penting karena selama ini memang sepertinya pengetahuan masyarakat soal kemana seharusnya bekas-bekas masker dibuang masih kurang. Informasi yang diberikan oleh pemerintah masih kurang luas dan itu mungkin belum jadi perhatian. Karena kalau kita lihat di materi sosialisasi pemerintah paling banyak soal jumlah penderita dan yang divaksin sudah berapa."
Langkah Pemerintah
Untuk mengantisipasi limbah medis B3, KLHK sebenarnya telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SE.02/PSLB3/PLB.3/3/2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius Limbah B3 dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan COVID-19 yang selain mengatur pengelolaan limbah dari fasilitas layanan kesehatan, juga yang berasal dari rumah tangga tempat isolasi mandiri dan sampah rumah tangga.
Salah satu poin dalam edaran tersebut, menegaskan bahwa masyarakat sehat yang menggunakan masker sekali pakai diharuskan merobek, memotong, dan menggunting dan dikemas secara rapi sebelum dibuang ke tempat sampah untuk menghindari penyalahgunaan.
Khusus untuk rumah tangga dengan pasien COVID-19 yang menjalani isolasi mandiri diharuskan mengemasnya dengan wadah tertutup yang diberi tanda dan harus diangkut oleh dinas yang bertanggung jawab untuk diserahkan kepada pengelola limbah B3.
Namun, masih ditemukan kejadian di mana terjadi pembuangan limbah medis B3 secara sembarangan seperti yang ditemukan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Februari lalu yang berasal dari hotel tempat isolasi pasien COVID-19.
"Limbah medis yang belum diolah atau belum dimatikan kumannya, itu akan berpotensi untuk menyebarkan virus. Apalagi virus tidak terlihat oleh mata dan sangat mudah terbawa aliran udara. Ini yang berbahaya kalau sampai membuang sembarangan bisa lepas virus-virusnya, apalagi kalau bekas dipakai penderita COVID-19," ucap Nur Hidayati.
Advertisement