Liputan6.com, Jakarta - 23 Tahun lalu, tepatnya 21 Mei 1998, rezim Orde Baru runtuh setelah Soeharto menyatakan lengser keprabon dari jabatannya sebagai Presiden RI. Pengunduran diri Presiden yang memimpin 32 tahun itu tak lepas dari demonstrasi mahasiswa serta masyarakat yang masif.
Momen yang disebut era reformasi ini menyuarakan enam tuntutan. Yaitu supremasi hukum, pemberantasan KKN, mengadili Soeharto dan para kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan Dwifungsi ABRI, dan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Advertisement
Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menilai, pemberantasan korupsi merupakan pekerjaan rumah pertama yang harus dilakukan pemerintah dalam menunaikan amanat 23 tahun reformasi. Praktik rasuah ini dinilainya sudah sangat mengerikan bagi keberlangsungan berbangsa dan bernegara.
"Korupsi ini ternyata bisa jauh lebih baik kondisinya ketika dengan Orde Baru. Kenapa? Karena dulu korupsi hanya terjadi di lingkaran kekuasaaan elite, kalau sekarang korupsi merajalela di hampir semua lini, daerah, kepala desa," ujar dia kepada Liputan6.com, Jakarta, Jumat (21/5/2021).
Ia menegaskan Kondisi ini sangat ironi. Bahkan yang lebih miris, praktik korupsi dilakukan tanpa malu dan dianggap sudah lumrah dalam budaya politik masyarakat.
"Ini menunjukkan budaya demokrasi kita agak hilang, reformasi 23 tahun tapi budaya korupsi tidak bisa hilang. Tentu ini ironis karena ini terkait penegakan hukum dan budaya politik masyarakat yang menganggap budaya korupsi itu perkara biasa," jelas dia.
Pekerjaan rumah selanjutnya, Adi melanjutkan, ada kecenderungan penurunan budaya demokrasi seperti yang dirilis the economist. Penurunan itu bukan hanya karena pemilu Indonesia yang cenderung formalistik, tapi masih banyak orang yang coba mengembalikan demokrasi seperti Orde Baru.
"Contoh ada kelompok tertentu yang ingin jabatan presiden tiga periode, itu kan amanat reformasi, bertentangan dengan UUD dan menyalahi amanat reformasi. Karena kan salah satu amanatnya adalah mengamputasi jabatan presiden yang selama ini absolut," jelas dia.
Kemudian juga terkait kondisi ekonomi Indonesia yang mungkin hampir sama dengan tahun 1998, yaitu terjadi resesi. Saat ini, kata Adi, juga terjadi resesi namun imbas alamiah berupa pandemi. "Dan itu tidak bisa dihindari."
Yang tak kalah penting, dia menerangkan, gagalnya mengelola perbedaan dan friksi politik yang sampai kini belum selesai. Artinya sebagai bangsa, Indonesia belum teruji memaknai perbedaan secara politik sehingga menimbulkan huru hara kegaduhan yang sampai sekarang belum selesai.
"Makanya ada keinginan sebagian orang ingin hidup di masa seperti Orba, partai disederhanakan, faksi politik juga dihilangkan. Itu menunjukkan kegagalaan kita mengelola pluralisme demokrasi. Mestinya kita bersyukur dengan semakin banyak golongan, harusnya hidup ini semakin indah, tapi karena kita gagal terkesan ini menjadi menyeramkan," terang dia.
Selain itu, lanjut Adi, Indonesia juga gagal melakukan regenerasi di bidang politik karena aktor kuncinya hanya berada di satu titik saja. "Ini harus kita tangisi karena penentu kebijakan politik di level elite partai, orangnya dia-dia saja, yang kendalikan ya mereka-mereka saja," ucap Adi.
Banyak kalangan pemerhati menilai ada kecenderungan pemerintah mengarah pada sistem otoriter. Hal itu dikuatkan survei Komnas HAM di mana sekitar 36 persen masyarakat semakin khawatir berbicara tentang kebebasan politik atau berekspresi.
"Ini yang saya sebut sebagai ironi. Kita ini kalau mau jujur sedang dalam fase pseudo demokrasi tapi dalam praktiknya semi demokrasi karena ada penyakit yang tidak hilang seperti UU ITE yang cukup ampuh mengamputasi suara-suara kritikan keras," jelas dia.
Mestinya pemerintah dan DPR mengevaluasi UU ITE ini yang dalam banyak hal, cukup mengerikan. Bila tidak, UU ini dikhawatirkan akan menjadi alat penguasa untuk menghantam mereka yang tidak sesuai dengan kehendaknya.
"Ini saya khawatir, siapa pun yang berkuasa akan menjadi alat pembungkaman kelompok tertentu," ucap Adi.
"UU ITE ini yang buat suasana batin kebangsaan ini menyeramkan, dan kalau tidak diamputasi atau direvisi, kita akan terjebak kubangan demokrasi yang seolah-olah begitu," demikian kata pria yang juga Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini.
Selain UU ITE, penyebab iklim demokrasi tak sehat juga diakibatkan tidak adanya penegakan hukum. Bagian ini yang dinilai Pengamat Politik Ujang Komarudin, masih harus diperbaiki bersama-sama.
"Penegakan hukum yang terpentiung. Kalau kita berdemokrasi lalu tidak paralel dengan penegakan hukum, ya demokrasinya hancur. Tidak aneh dan tidak heran demokrasi kita menurun, karena penegakan hukumnya tidak berjalan," kata Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) tersebut kepada Liputan6.com, Jakarta, Jumat (21/5/2021).
Terlebih saat ini, kata dia, masyarakat dipertontonkan aksi elite yang melemahkan lembaga atirasuh melalui revisi UU KPK. Pelumpuhan KPK ini dilakukan lantaran elite maupun pejabat tak ingin dijebloskan ke penjara setelah mereka menggarong uang negara tanpa malu.
"Itu sesuatu kekeliruan besar elite politik saat ini dalam konteks penegakan hukum. Harusnya memperkuat tapi memperlemah atau bahkan membunuh KPK," tegas dia.
Dia menilai, perilaku pejabat maupun elite politik yang melakukan praktik korupsi saat ini lebih parah ketimbang saat Orde Baru. Yang mana praktik rasuah itu sekarang dilakukan secara vulgar.
"Kalau masyarakat bilang ya mirip-mirip Orba, cuman beda situasi aja, beda zaman saja. Bahkan dalam konteks korupsi lebih parah. Kalau dulu korupsi di bawah meja, sekarang dengan meja-mejanya," ujar Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini.
Kendati demikian, kondisi apa pun yang terjadi, masyarakat harus tetap optimitis dalam menatap masa depan bangsa. Untuk itu, semua harus menyadari bahwa bangsa ini mesti diperbaiki bersama-sama.
"Karenanya, hukum tidak boleh tebang pilih, tidak boleh memihak, tidak boleh dipermainkan. Itu titik pangkalnya. Kalau ketiganya tidak dilakukan, demokrasi akan jalan tegak. Persoalannya kita memanfaatkan hukum untuk kepentingan politik. Ini yang masih terjadi hingga saat ini," ujar pria yang juga pernah menjadi Staff Khusus Ketua DPR RI ini.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Catatan dari Sisi Hukum
Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin menilai dari sisi konstitusi, perlu juga dibenahi ataupun ditingkatkan. Mengingat persoalan yang terjadi saat reformasi berbeda dengan kondisi sekarang ini.
"Konstitusi harus mulai ditinjau kembali, karena momentum reformasi kala itu sudah memiliki persoalan yang berbeda dengan saat ini, sehingga strategi bernegara kala itu yang dituangkan dalam konstitusi, bisa jadi harus ditinjau atau di-upgrade kembali," ujar Irman kepada Liputan6.com, Jumat (21/5/2021).
Dia mengungkapkan, penyelenggaraan pemilu langsung yang tidak pernah terjadi pada era Soeharto, ternyata memberikan dampak yang meresahkan bagi kehidupan bernegara. Bahkan produk konstitusi buah reformasi ini menyimpan dampak begitu tajam yang sebelumnya tidak pernah terprediksikan.
"Konstitusi pada era refomasi dengan menggaungkan pemilu langsung tidak pernah membayangkan adanya polarisasi sosial yang begitu tajam bahkan dahsyat di tengah kehidupan sosial bernegara," ujar pria yang juga sebagai advokat ini.
"Karena tidak memprediksikan adanya kemajuan teknologi seperti medsos yang ada saat ini, sebagai penghantar dahsyat polarisasi sosial itu, yang ternyata dipicu oleh sisa pertarungan politik pemilu tiap 5 tahunan baik di lokal maupun nasional," Irman menambahkan.
Karena itu yang menjadi pertanyaan, dia melanjutkan, apakah polarisasi sosial ini mengganggu kehidupan bernegara secara signifikan? "Kalau jawabannya tidak signifikan, berarti belum butuh perubahan."
Di lain pihak, kata Irman, gaung pemilihan langsung ternyata membutuhkan biaya politik tinggi. Kondisi ini pun dinilainya telah melahirkan korupsi politik.
"Ironi, cara extraordinary dengan membentuk KPK, ternyata kewalahan bahkan tak mampu juga membendungnya (praktik korupsi), berarti ada yang harus diubah, sistem yang dibentuk oleh reformasi itu," demikian penjelasan pendiri Firma Hukum A Irmanputra Sidin & Associates ini.
Sementara itu, pengamat Hukum Tata Negara Bivitri Susanti berpandangan amanat reformasi yang digaungkan 23 tahun lalu kini banyak yang nyaris balik lagi ke masa orde baru. Dia merinci tuntutan reformasi dengan situasi yang terjadi saat ini.
"Supremasi hukum, ya ada dalam arti sekarang tidak asal tangkap, ada dasar UU-nya. Tetapi apakah hukumnya berkeadilan? Dengan kata lain, apakah prinsip negara hukum yang berlandaskan HAM dan pembatasan kekuasaan yang dilaksanakan? Jawabannya bisa kita lihat pada penggunaan UU ITE pada orang-orang yang mengkritik dan masih banyaknya penyiksaan justru oleh para penegak hukum, atas nama supremasi hukum," terang dia kepada Liputan6.com, Jakarta, Jumat (21/5/2021).
Selanjutnya terkait pemberantasan korupsi. Ia menyoroti kondisi KPK yang saat ini dibuat tak berdaya setelah adanya revisi UU KPK.
"KPK yang justru merupakan amanah reformasi, ingat ada Tap MPR XI 1998 yang mulai memunculkan adanya lembaga independen, itu amanah reformasi, tetapi sekarang jelas dibuat tidak independen lagi, alias mundur ke belakang," terang dia.
Yang tak kalah pentingnya terkait dengan amandemen konstitusi. Menurutnya hal itu sudah dilakuan pada kurun 1999-2002. Namun sekarang ingin kembali diacak-acak dengan mengembalikan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau munculnya wacana jabatan presiden 3 periode.
"Dan di luar teksnya yang mungkin diubah kembali lagi ke semangat lama GBHN, constitutional values juga sudah diacak-acak lagi, misalnya dengan membuat legislasi secara ugal-ugalan seperti pada pembuatan Revisi UU KPK, Minerba, Revisi UU MK, dan Cipta Kerja," ujar Bivitri.
Dia mengungkapkan, padahal dulu ada semangat demokrasi substantif dengan partisipasi publik yang besar. Namun sekarang itu justru disimpangi. "Bahkan mahasiswa demo ditangkapi, padahal kebebasan berpendapat itu adalah buah reformasi," ucap dia.
Dan terkait Pemberian Otonomi Daerah seluas-luasnya, menurutnya secara esensi sudah terlaksana. Namun demikian, cukup banyak kebijakan pada masa pemerintahan Jokowi seperti UU Cipta Kerja yang nyaris mengembalikan kepada posisi Orde Baru.
Advertisement
Tak Ada yang Tertunda
Anggota DPR RI dari Partai Golkar Dave Laksono menilai saat ini tidak ada amanat reformasi yang tertunda. Semua agenda reformasi masih terus berjalan.
"Jadi reformasi itu enggak akan berhenti ya, masih terus berjalan dan terus berevolusi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan zaman," kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (21/5/2021).
Dave memandang saat ini memang belum tercapai kondisi yang sesuai dengan amanat reformasi. Namun demikian, proses ke arah lebih baik masih terus dilakukan.
"Kalau dibilang belum tercapai reformasi yang ideal ya kan reformasi adalah perubahan yang tidak berhenti. UU sajakan banyak direvisi-revisi terus, banyak UU baru. Disesuaikan dengan kondisi dari zaman ke zaman," terang Anggota Komisi I ini.
Dia mengungkapkan saat ini roda pemerintahan berjalan semakin transparan. Masyarakat juga kata dia, lebih bebas untuk menyampaikan pendapatnya dan juga penegakan hukum semakin berjalan.
"Ya kalau dibilang masih ada permasalahan di sana sini, memang masih banyak yang perlu diperbaiki karena reformasi ini belum selesai," ucapnya.
"Bahkan di negara dengan demokrasi maju seperti AS saja kita masih ketemukan politik agama, rasisme segala macam. Itu masih ada di sana. Nah di Indonesia yang kita ini baru benar-benar demokrasi terbuka selama beberapa tahun terakhir ya memang masih banyak penyesuaian," Dave menjelaskan.
Ia menilai situasi saat ini lebih baik ketimbang pada masa sebelum reformasi terjadi. Prestasi yang dicapai hari ini tidak mungkin terjadi pada masa Orde Baru.
"Kalau saya melihat apa yang dicapai hari ini, itu tidak mungkin dicapai di era Orba. Di mana pemilihan presiden secara terbuka. Kita pernah menggugat sebuah UU di MK, terus sistem peradilan juga terus direformasi disesuaikan dengan kondisi hari ini," kata pria yang juga Ketua Umum Kosgoro 1957 ini.
Dave menilai dalam menerapkan amanat reformasi, pemerintah tidak boleh melakukan hanya satu sisi saja. Namun juga diimbangi dengan sektor lain sebagai satu kesatuan dalam memajukan bangsa.
"Apakah kita katakan budaya tidak sepenting ekonomi, apakah kita katakan sistem pemilihan itu lebih penting dari olahraga, kan enggak juga. Semua itu kan pilar-pilar dalam kehidupan kita. Dalam progres reformasi ini enggak bisa dipilih salah satu, karena semuanya harus berjalan berbarengan," terang putra dari Agung Laksono ini.
Hal berbeda disampaikan Pangi Syarwi Chaniago. Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Voxpol Center ini justru melihat dalam refleksi 23 reformasi ini ada penurunan.
"Dalam konteks nepotisme, kolusi, oligarki itu tumbuh kuat, pemilik modal sedikit tapi menguasai dibanding penduduk Indonesia," kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (21/5/2021).
Selain itu, dia melanjutkan, kebebasan berpendapat di era reformasi terbilang mahal. Bahkan tak jarang harus dibayar dengan mendekam di penjara setelah dinyatakan melanggar UU ITE.
"UU ITE mengganjal, mengganggu itu. Sehingga terkesan kita negara yang punya masalah akan hal itu," kata Pangi.
Spirit reformasi, kata dia, adalah semangat Indonesia bebas dari korupsi. Sementara agenda penegakan hukum dan peberantasan korupsi saat ini dinilainya sedang ada masalah.
"Sepertinya bukan memperkuat tapi memperlemah. Itu gigi mundurnya," tegas dia.
Jangan sampai roh reformasi yang telah diperjuangkan hingga empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas akibat terjangan peluru aparat menjadi sia-sia belaka. Perlu tekad kuat untuk membuat bangsa ini terus melangkah lebih baik dalam menggapai masa depan gemilang.