Liputan6.com, Los Angeles - Kematian Putri Diana membawa luka dan kemarahan mendalam di hati Pangeran Harry. Dalam usia yang kala itu masih kecil, 12 tahun, suami Meghan Markle ini menyebut adanya ketidakadilan atas kematian sang ibu.
"Yang jelas, aku sangat marah atas apa yang terjadi dan kenyataan bahwa tak ada keadilan sama sekali. Enggak ada. Orang yang sama, yang mengejarnya sampai terowongan, memotretnya saat sekarat di kursi belakang kursi itu," begitu pernyataannya dalam serial dokumenter The Me You Can't See, diwartakan E! News, Jumat (21/5/2021).
Selama bertahun-tahun ia menyimpan luka hati, dan mengatakan pada orang di sekitar bahwa dirinya baik-baik saja. Namun ini malah jadi bumerang. Belakangan, ia mengalami sejumlah gangguan mental karenanya.
Baca Juga
Advertisement
Serangan Panik
"Serangan panik, kecemasan parah. Dan sejak usia 28 hingga 32 mungkin bisa dibilang mimpi buruk dalam hidupku," kata ayahanda Archie.
Advertisement
Berkeringat
Gangguan ini ia rasakan saat hendak berangkat menunaikan tugas kebangsawanan. "Bahkan sebelum aku keluar rumah, aku bermandi keringat, jantungku berdebar-debar. Aku berada dalam kondisi melawan-atau-kabur," kata Pangeran Harry.
Lampu Blitz
Hal ini makin parah saat ia hendak melangkah keluar mobil dan dihujani lampu blitz dari para juru foto.
"Aku mulai berkeringat. Aku merasa seperti suhu tubuhku lebih panas dua atau tiga derajat dari orang lain di ruangan. Aku meyakini bahwa wajahku memerah terang, dan karena itu semua orang bisa mengetahui apa yang kurasakan, tapi tak ada yang tahu mengapa. Jadi itu terasa memalukan," imbuhnya.
Advertisement
Bertemu Meghan
Pangeran Harry mengatakan meski pikiran aneh dan kepanikan terus berkecamuk di kepala, ia tetap melawannya sendirian. Hal ini berubah setelah ia bertemu Meghan Markle.
"Bertemu dan bersama Meghan, aku tahu kalau aku tak menjalani terapi dan memperbaiki diri, aku akan kehilangan wanita ini, sosok yang kuharap bisa menghabiskan sisa hidup bersamaku," pungkas Pangeran Harry.