Liputan6.com, Jakarta - Dugaan peretasan dialami para aktivis antikorupsi, mulai dari aktivis yang berjuang dari dalam Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti Novel Baswedan hingga mereka yang kerap bersuara dari luar markas antirasuah.
Dugaan adanya peretasan aktivis antikorupsi mulanya diterima oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan para mantan Pimpinan KPK. ICW dan para mantan pimpinan mengalami dugaan peretasan saat menggelar diskusi terkait penonaktifan 75 pegawai KPK oleh Firli Bahuri cs.
Advertisement
Pada konferensi pers yang menggunakan media zoom pada Senin 17 Mei 2021 itu, terdapat berbagai upaya peretasan.
"Sepanjang jalannya konferensi pers, setidaknya ada sembilan pola peretasan atau gangguan yang dialami," ujar peneliti ICW Wanna Alamsyah dalam keterangannya, Selasa (18/5/2021).
Pembicara yang hadir dalam ruangan zoom yakni Busyro Muqoddas, Adnan Pandu Praja, Saut Situmorang, Moch Jasin, Agus Rahardjo, Nisa Rizkiah (Peneliti ICW, Moderator), Kurnia Ramadhana (Peneliti ICW), dan Tamima (Peneliti ICW).
Menurut Wanna, setidaknya terdapat sembilan kali upaya peretasan. Pertama, menggunakan nama para pembicara untuk masuk ke media zoom. Kedua, menggunakan nama para staf ICW untuk masuk ke media zoom.
Ketiga, menunjukkan foto dan video porno di ruangan zoom. Keempat, mematikan mic dan video para pembicara. Kelima, membajak akun ojek online Nisa puluhan kali guna menganggu konsentrasinya sebagai moderator acara. Keenam, mengambil alih akun WhatsApp 8 staf ICW.
Ketujuh, beberapa orang yang nomor WhatsApp-nya diretas sempat mendapatkan telepon masuk menggunakan nomor luar negeri dan juga puluhan kali dari nomor asal provider Telkomsel. Kedelapan, percobaan mengambil alih akun Telegram dan e-mail beberapa staf ICW.
Sembilan, tautan yang diberikan kepada pembicara Abraham Samad tidak dapat diakses tanpa alasan yang jelas.
Tiga hari berselang, giliran telepon seluler Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi Komisi Pemberantasan Korupsi (PJKAKI KPK) Sujanarko dan penyidik senior KPK Novel Baswedan yang diduga mengalami peretasan.
Menurut Sujanarko, indikasi adanya peretasan lantaran muncul nomor ponsel dirinya di aplikasi Telegram secara tiba-tiba. Padahal dirinya tak pernah mendaftarkan nomornya di aplikasi Telegram. Sujanarko menyebut, dugaan peretasan dirinya dan Novel terjadi sekitar pukul 20.30 WIB.
"Info teman-teman itu ada notifikasi nama saya (muncul) di Telegram. Nomornya nomor saya. Bang Novel juga," ujar Sujanarko saat dikonfirmasi, Kamis (20/5/2021) malam.
Sujanarko menduga peretasan dilatarbelakangi sikapnya dan 74 pegawai KPK dalam menentang Surat Keputusan (SK) nomor 652 yang ditandatangi Ketua KPK Firli Bahuri. SK tersebut berisi terkait penonaktifan dirinya, Novel Baswedan, dan 73 pegawai lainnya.
"Kayaknya ada yang mulai menyerang lagi deh. Motifnya enggak tahu," kata pria yang akrab disapa Koko ini.
Sujanarko dan Novel Baswedan serta 73 pegawai KPK yang dinonaktifkan melaporkan lima pimpinan KPK ke Dewan Pengawas dan Ombudsman RI. Dalam setiap laporan, keduanya selalu tampil di media untuk memberikan keterangan.
Selain Sujanarko dan Novel, telepon seluler milik pegiat antikorupsi Febri Diansyah juga mengalami peretasan. Mantan Juru Bicara KPK itu mengaku aplikasi WhatsApp-nya mengalami peretasan sekitar pukul 23.07 WIB, Kamis 20 Mei 2021 malam.
"Ada pemberitahuan 2FA (two step verification), WA ku dibatalkan di email," ujar Febri kepada Liputan6.com, Jumat (21/5/2021).
Febri mengaku, saat dirinya mengetahui adanya dugaan peretasan terhadap aplikasi perpesanan miliknya, dia langsung mengumumkannya melalui akun media sosialnya. Dia tak ingin ada pihak yang tak bertanggungjawab memanfaatkan namanya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tak Berlangsung Lama
Beruntung peretasan tak berlangsung lama.
"Tadi lewat tengah malam WA sudah sudah bisa diakses setelah lakukan pelaporan melalui mekanisme WA," kata Febri.
Diketahui, Febri kerap menyuarakan penolakan penonaktifan 75 pegawai melalui akun media sosial pribadinya. Febri juga kerap menjadi narasumber dalam diskusi pembahasan polemik di internal KPK.
Peneliti ICW Wanna Alamsyah menyebut, upaya pembajakan bukan kali pertama terjadi pada aktivis masyarakat sipil antikorupsi. Sebelumnya, pada kontroversi pemilihan Pimpinan KPK, revisi UU KPK tahun 2019, UU Minerba, serta UU Cipta Kerja praktik ini pernah terjadi.
"Peretasan bukan hanya dialami oleh ICW saja, anggota LBH Jakarta dan Lokataru pun mengalami hal yang serupa," kata Wanna.
ICW menduga, peratasan ini dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak sepakat dengan advokasi masyarakat sipil terkait penguatan pemberantasan korupsi. Dia berpendapat, peretasan yang selama ini dilakukan untuk membungkam suara kritis aktivis antikorupsi melalui digital.
"Pembungkaman suara kritis warga melalui serangan digital merupakan cara baru yang anti demokrasi. Maka dari itu, kami mengecam segala tindakan-tindakan itu dan mendesak agar penegak hukum menelusuri serta menindak pihak yang ingin berusaha untuk membatasi suara kritis warga negara," kata.
Advertisement
Kata Anggota DPR dan Polri
Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman menilai kasus dugaan peretasan yang dialami sejumlah aktivis ICW dan mantan pimpinan KPK beberapa waktu lalu sebaiknya dilaporkan kepada kepolisian agar diusut dan pelakunya ditangkap.
"Polri memiliki unit kejahatan siber atau 'cyber crime', ya nanti diusut kalau memang ada pidananya ditangkap para pelakunya," kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis 20 Mei 2021 seperti dikutip Antara.
Dia mengatakan banyak pihak yang diretas nomor telepon tanpa ada unsur politis. Habiburokhman mencontohkan stafnya beberapa kali nomor teleponnya diretas pihak yang tidak bertanggung jawab.
"Jadi (kasus penyadapan yang dialami aktivisi dan mantan pimpinan KPK) jangan terburu-buru dianggap sebagai motif politis," kata dia.
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memberikan atensi terhadap peretasan yang dialami ICW dan mantan Pimpinan KPK. Polisi menyatakan segera menindaklanjuti secara hukum apabila telah mendapatkan bukti awal yang cukup.
"Secara umum Polri pasti menindaklanjuti sesuatu yang menjadi atensi di masyarakat tidak mungkin membiarkan," kata Kabag Penu. Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan, di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta, Rabu 19 Mei 2021.
Seperti dikutip Antara, Ramadhan mengatakan untuk membuat sebuah kejadian itu menjadi sebuah perkara, Polri membutuhkan bukti awal yang cukup untuk ditindaklanjuti.
"Bukti awal yang cukup bisa jadi masyarakat bisa membantu, memberikan bukti-buktinya kepada Polri, itu bisa, namanya itu peran serta masyarakat," kata Ramadhan.
Polri juga menjamin masyarakat yang berpartisipasi membantu mengungkap tindak pidana dilindungi dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi, seperti identitas terlindungi.
Untuk melaporkan hal itu, masyarakat dapat mengomunikasikannya langsung kepada anggota Polri, atau mengirimkan informasi kepada anggota Polri yang dikenal.
"Jadi bisa datang atau telepon juga bisa, mungkin ke anggota yang dikenal," kata Ramadhan.