Layanan Kesehatan di Gaza Semakin Bobrok Akibat Serangan Israel

Laboratorium utama COVID-19 dan kantor Kementerian Kesehatan juga terkena serangan Israel, memaksa pengujian dihentikan selama beberapa hari.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 21 Mei 2021, 14:26 WIB
Anggota keluarga Palestina Abu Dayer menangis di rumah sakit Al-Shifa setelah kematian anggota keluarga dalam serangan udara Israel di Kota Gaza, Senin (17/5/2021). Tercatat ada 212 penduduk Jalur Gaza, Palestina yang kehilangan nyawa di antaranya 61 korban merupakan anak-anak. (MAHMUD HAMS/AFP)

Liputan6.com, Gaza - Sektor kesehatan di Jalur Gaza diaporkan semakin bobrok akibat serangan Israel. Pihak rumah sakit kewalahan dengan gelombang korban luka dan meninggal dunia.

Dikutip dari laman Arab News, Jumat (21/5/2021) persediaan obat-obatan penting juga cepat habis lantaran daerah kantong pantai yang diblokade.

Serangan udara Israel telah merusak enam rumah sakit dan sembilan pusat kesehatan utama di Gaza.

Laboratorium utama COVID-19 dan kantor Kementerian Kesehatan juga terkena serangan, memaksa pengujian dihentikan selama beberapa hari.

Pusat Kesehatan Syuhada Rimal di Kota Gaza, Palestina menjadi sasaran bom Israel, kata Dr. Ayman Al-Halabi, direktur jenderal layanan dukungan medis di Kementerian Kesehatan.

Juru bicara Kementerian Kesehatan Ashraf Al-Qidra mengatakan: "Perang menguras kemampuan kementerian secara terbatas. Sistem perawatan kesehatan berada pada titik yang berbahaya jika agresi Israel berlanjut," tambahnya.

"Ada kekurangan tenaga medis, obat-obatan dan persediaan medis, serta ambulans," kata Al-Qidra kepada Arab News. Dia mengatakan, kementerian terus berkomunikasi dengan organisasi lokal dan internasional untuk memastikan kebutuhan mendesak rumah sakit terpenuhi.

"Dengan berlanjutnya agresi brutal Israel, kementerian meluncurkan permohonan mendesak sebesar US$ 46,6 juta untuk memenuhi kebutuhan mendesak sektor kesehatan dalam hal obat-obatan, peralatan operasi, perawatan intensif, radiologi diagnostik, peralatan bedah, laboratorium dan kebutuhan darurat lainnya untuk menjamin kelangsungan pelayanan kesehatan," tambahnya.

 


Situasi Perang

Anggota keluarga Palestina Abu Dayer menangis di rumah sakit Al-Shifa setelah kematian anggota keluarga dalam serangan udara Israel di Kota Gaza, Senin (17/5/2021). Tercatat ada 212 penduduk Jalur Gaza, Palestina yang kehilangan nyawa di antaranya 61 korban merupakan anak-anak. (MAHMUD HAMS/AFP)

Ezz El-Din Shaheen, seorang ahli anestesi dan dokter perawatan intensif di Al-Shifa Medical Complex, mengatakan sistem perawatan kesehatan di Gaza harus menghadapi perang, bencana, dan krisis lainnya untuk waktu yang lama.

"Dokter, perawat, paramedis, dan teknisi yang bekerja di bidang kesehatan dibagi menjadi beberapa kelompok dan diterapkan sistem shift 24 jam, lalu istirahat, lalu shift 24 jam, dan seterusnya," ujarnya.

"Ada departemen yang kekurangan staf kesehatan, sehingga pekerjaan di dalamnya lebih membuat stres dan jumlah jam kerja lebih banyak, seperti halnya di departemen bedah."

Kementerian Kesehatan juga prihatin dengan pengungsian lebih dari 60.000 warga Palestina yang kini tinggal di 58 tempat penampungan dengan layanan kesehatan yang tidak memadai.

Ada kekhawatiran bahwa hal ini dapat menyebabkan gelombang ketiga pandemi COVID-19 dan penyebaran penyakit menular dan kulit lainnya yang mungkin sulit ditangani oleh petugas kesehatan.

Sebelum konflik saat ini, Jalur Gaza baru-baru ini mengalami perang pada tahun 2008, 2012, dan 2014.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya