Liputan6.com, Jakarta - Pariwisata bukanlah sektor pengecualian dalam soal beradaptasi di masa pandemi COVID-19. Operasionalnya harus digubah sedemikian mungkin untuk tetap mengutamakan kesehatan, sekaligus keselamatan, baik pengunjung maupun staf objek wisata.
Berada di garis utama praktik pariwisata Indonesia adalah panduan Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan) (CHSE). Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pun telah mendorong sertifikasi CHSE sejak tahun lalu.
Pengamat Pariwisata, Taufan Rahmadi, menjelaskan bahwa prinsip esensi CHSE sudah sesuai standar global yang mengacu pada guideline Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). "Benchmark-nya sudah sangat baik," katanya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis, 20 Mei 2021.
Baca Juga
Advertisement
Dengan adanya sertifikasi, kata Taufan, ada jaminan nilai keamanan dan kenyamanan. Yang tidak boleh, CHSE semata dijadikan formalitas, sekadar selebrasi, tanpa memahami esensi keberadaannya. Pendampingan terkait pelaksaaan panduan juga penting dilakukan.
"Saran saya, pemerintah mulai membentuk Komite Pemulihan Pariwisata Nasional. Tugasnya termasuk memastikan penerapan CHSE secara konsisten, selain memberi insentif bagi pelaku pariwisata," tuturnya menyambung bahwa pengawasan mingguan penting dilakukan, terlebih di akhir pekan.
"Jadi, bagaimana mengimplementasi monitoring dan sosialisasi (tidak hanya ke pengelola objek wisata, namun juga masyarakat). Bukan menghadirkan ketakutan, tapi kenyamanan," ujar Taufan. Di samping, memerhatikan zonasi juga penting dilakukan beriringan dengan penerapan panduan CHSE.
Penutupan destinasi wisata, sambungnya, juga harus melihat tahapan yang berlaku. "Salah satu solusinya bisa memberlakukan bubble policy. Misal, bubble beach atau bisa disebut daerah pantai ramah COVID-19. Dalam penerapannya, semua elemen berkomitmen menjalankan protokol kesehatan secara disiplin," urainya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Memperoleh Sertifikasi CHSE
Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta dan Bali Zoo di Gianyar, Bali adalah salah dua objek wisata yang sudah mengantongi sertifikasi CHSE. Sementara Bali Zoo sudah menerimanya sejak November 2020, Ancol menyusul sebulan setelahnya, yakni pada Desember 2020.
Corporate Communication Taman Impian Jaya Ancol, Rika Lestari, menjelaskan, langkah-langkah mengajukan sertifikasi CHSE telah tertera di laman resmi Kemenparekraf. "Kami penuhi persyaratan administrasinya. Kemudian, melakukan self assessment untuk memastikan unit yang diajukan menyanggupi persyaratan pihak Kemenparekraf," katanya lewat sambungan telepon, Jumat, 21 Mei 2021.
Hingga akhirnya ada penilaian langsung ke lapangan. "Kurang lebih sebulan (mendapat sertifikasi CHSE sejak mendaftar," tambahnya.
Sedangkan, Wilma Macitra, Public Relations Coordinator Bali Zoo, mengatakan, Kemenparekraf menghubungi pelaku sektor pariwisata di Bali, termasuk Bali Zoo, pada Oktober 2020 dengan agenda sosialisasi CHSE. "Bali Zoo mendaftar untuk verifikasi CHSE pada 5 November 2020 hingga menerima sertifikasi Indonesia Care CHSE pada 14 November 2020, dinyatakan lolos dengan skor tinggi dan baik," paparnya melalui pesan, Jumat, 21 Mei 2021.
Dengan masa berlaku satu tahun, sambung Wilma, pihaknya akan terus berupaya lebih baik lagi dalam memfasilitasi pengunjung, serta memberi rasa nyaman dan aman saat berada di area kebun binatang.
Narasi serupa juga diserukan Rika, di samping menambah rasa nyaman, penerapan CHSE utamanya soal menjaga kesehatan dan keselamatan pengunjung maupun staf Ancol. "Sebagai pengelola objek wisata, kami terus melakukan koordinasi, dalam kasus ini dengan Disparekraf DKI Jakarta," katanya.
Terkait protokol kesehatan, Bali Zoo telah menerapkan aturan 3M, penyemprotan disinfektan di seluruh area sebelum jam operasional, serta menambah stiker penanda jarak antre pada area dengan mobilitas tinggi, seperti loket tiket, restauran, dan halte bus.
Ada pula pemeriksaan suhu tubuh pengunjung dengan batas 37,3 derajat, mencatat data kunjungan wisata per orang setiap harinya untuk tracing, serta menambah fasilitas wastafel dan hand sanitizer di 15 titik strategis.
Di samping, objek wisata yang baru membuka area baru Savanna, mini Afrika ini menetapkan hanya 30 persen dari total kapasitas. Sementara, Ancol berada di angka 10 ribu pengunjung per hari. "Itu kurang dari 30 persen (dari total kapasitas)," kata Rika.
Advertisement
Sebaiknya Sukarela atau Diwajibkan?
Taufan mengatakan, mengingat sertifikasi CHSE merupakan standar global, sudah semestinya itu diwajibkan bagi setiap pengelola objek wisata. "Di samping, sosialisasi ke masyarakat juga harus terus berjalan, dan memang di situ tantangannya," ucapnya.
Rika menyerukan narasi serupa. "Setiap objek wisata sekarang pasti menerapkan protokol kesehatan yang juga sebenarnya in-line dengan panduan CHSE. Jadi, menurut kami, tidak sulit mengubah anjuran itu jadi wajib," ucapnya.
Melalui program CHSE, jelas Wilma, Kemenparekraf sebenarnya bermaksud menstimulus pariwisata untuk kembali bangkit selama maupun pascapandemi. "Verifikasi CHSE dapat jadi ajang berbenah bagi DTW (daerah tujuan wisata) dalam menata ulang destinasi wisata agar dapat bertransformasi menuju destinasi yang lebih baik lagi," katanya.
"Penerimaan sertifikasi CHSE bagi DTW juga dapat jadi media promosi destinasi di masa pemulihan ini, yang mana dapat memberi rasa nyaman dan aman bagi wisatawan," tandasnya.
5 Tips Liburan Aman Saat Pandemi
Advertisement