Pakar Hukum Sebut Penanganan Kasus RJ Lino Abaikan Asas Kepatuhan

KPK menetapkan RJ Lino sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembelian Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II pada 2016, namun baru ditahan pada akhir Maret 2021.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 22 Mei 2021, 17:44 WIB
Mantan Dirut PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino mengenakan rompi tahanan usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/3/2021). RJ Lino ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2015 lalu dalam dugaan korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita menilai penanganan kasus yang menjerat Mantan Direktur Utama PT Pelindo II, Richard Joost Lino atau RJ Lino oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanggar asas kepatutan (billijkheid).

"Bagi siapa pun dalam status tersangka selama lima tahun tanpa ada kelanjutan tidak lazim, melanggar asas kepatutan (billijkheid), yaitu justice delayed is justice denied (terlambat memberi keadilan merupakan bentuk ketidakadilan)," kata Romli dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (22/5/2021).

KPK diketahui menetapkan RJ Lino sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembelian Quay Container Crane (QCC) di Pelindo II pada 2016. Namun RJ Lino baru ditahan penyidik KPK pada akhir Maret 2021.

Menurut Romli, pengajuan praperadilan yang dilayangkan pihak RJ Lino ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan merupakan langkah tepat. Menurut dia status RJ Lino selama kurang lebih lima tahun tidak menentu setelah ditetapkan sebagai tersangka. Apalagi, RJ Lino juga tidak ditetapkan sebagai buron selama lima tahun tersebut.

Romli pun mempertanyakan alasan KPK yang memerlukan waktu selama lima tahun untuk memperoleh alat bukti permulaan yang cukup dalam menahan RJ Lino.

"Masalah RJ Lino tidak berhenti pada dilanjutkan tidaknya kasus yang bersangkutan, akan tetapi stigma tersangka dalam kurun waktu yang lama merupakan perampasan hak asasi," kata dia.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Gugat Praperadilan KPK

Mantan Dirut PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino (tengah) usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (26/4/2021). RJ Lino diperiksa sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II tahun 2010. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

RJ Lino mengajukan permohonan praperadilan dengan nomor perkara 43/Pid.Pra/2021/PN JKT.SEL didaftarkan pada 16 April 2021. Termohonnya adalah pimpinan KPK. RJ Lino mengajukan delapan poin dalam perlawanan terhadap KPK.

1. Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya.

2. Menyatakan penyidikan oleh termohon kepada pemohon yang melebihi jangka waktu 2 (dua) tahun dan proses hukumnya belum selesai adalah melanggar norma Pasal 40 ayat (1) Jo. Pasal 70 C Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang, dan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Undang-Undang 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang oleh karenanya penyidikan tersebut tidak sah dan tidak berdasarkan hukum, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

3. Menyatakan menurut hukum termohon tidak berwenang melakukan penyidikan terhadap pemohon karena melanggar norma Pasal 11 ayat (1) huruf b, dan ayat (2) Jo. Pasal 70 C Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang, dan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Undang-Undang 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin-Dik-55/01/12/2015 tertanggal 15 Desember 2015 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/66A/DIK.00/01/04/2018 tertanggal 17 April 2018 terkait dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

5. Menyatakan Surat Perintah Penahanan Nomor Sprin.Han / 13 / DIK.01.03/ 01 / 03 / 2021 dan Surat Perintah Perpanjangan Penahanan Nomor 14 / TUT.00.03 / 24 / 04 / 2021 tertanggal 13 April 2021 atas nama Tersangka R.J. Lino (Pemohon) adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum, dan oleh karenanya Surat Perintah tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

6. Memerintahkan termohon untuk mengeluarkan pemohon dari Rumah Tahanan Negara Kelas I Cabang KPK RI.

7. Memulihkan harkat, martabat dan nama baik pemohon dalam keadaan semula.

8. Menghukum termohon untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara a quo.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya