Ada Praktik Jual Beli Vaksin Covid-19, Kemenkes Minta Pemda Perkuat Pengawasan

Kementerian Kesehatan meminta pemerintah daerah memperkuat pengawasan distribusi vaksin Covid-19 kepada masyarakat.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Mei 2021, 03:14 WIB
Petugas medis menyiapkan vaksin COVID-19 untuk disuntikkan kepada pekerja swasta saat program Vaksinasi Gotong Royong di Sudirman Park Mall, Jakarta, Rabu (19/5/2021). Vaksin yang disuntikkan dalam program Vaksinasi Gotong Royong adalah Sinovam. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kesehatan meminta pemerintah daerah memperkuat pengawasan distribusi vaksin Covid-19 kepada masyarakat. Permintaan ini menyusul adanya temuan praktik jual beli vaksin Covid-19 di Kota Medan, Sumatera Utara.

"Pemerintah daerah setempat diminta untuk memperkuat pengawasannya karena vaksin diserahkan juga ke pemerintah daerah," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi kepada merdeka.com, Sabtu (22/5/2021).

Nadia menyebut, praktik jual beli vaksin Covid-19 bertentangan dengan aturan distribusi vaksin. Selain itu, jual beli vaksin Covid-19 bisa membahayakan kesehatan masyarakat.

"Kita tidak mengharapkan adanya vaksinasi yang tidak sesuai aturan yang dapat berpotensi terjadinya Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)," ujarnya.

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan menyayangkan adanya praktik jual beli vaksin Covid-19 di Kota Medan, Sumatera Utara. Praktik tersebut melanggar aturan distribusi vaksin Covid-19 yang sudah ditetapkan pemerintah.

"Tentunya hal ini sangat disayangkan karena pemerintah sudah mengatur tahapan vaksinasi sesuai prioritas di mana ini tentunya sesuai dengan risiko penularan dan kerentanan," kata Nadia.

Kementerian Kesehatan, lanjut Nadia, menyerahkan kepada kepolisian sebagai penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus jual beli vaksin Covid-19 di Kota Medan.

"Karena sudah melanggar aturan, ini masuk ranah penegak hukum," ujarnya.

Meski melanggar aturan distribusi, Nadia menyebut praktik jual beli vaksin Covid-19 menunjukkan antusiasme masyarakat ingin mendapatkan vaksin sangat tinggi. Sementara pemerintah memberikan vaksin Covid-19 secara bertahap kepada masyarakat karena keterbatasan.

"Pemerintah sudah menjamin untuk menyediakan vaksinasi gratis bagi seluruh masyarakat sesuai sasaran dan masyarakat diimbau untuk sabar," ucapnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Kasus Jual Beli Vaksin

Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Sumut) mengungkap praktik jual beli vaksin Covid-19 di Medan. Empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Tiga di antaranya merupakan aparatur sipil negara (ASN), termasuk dua dokter.

Keempat tersangka yakni SW, IW, KS, dan SH. Yang berstatus ASN, yakni IW, KS, dan SH. IW seorang dokter yang bertugas di Rutan Klas IA Tanjung Gusta Medan. KS merupakan dokter sekaligus ASN di Dinas Kesehatan Sumut. SH pun merupakan ASN di Dinas Kesehatan Sumut.

Kapolda Sumatera Utara, Irjen Pol Panca Putra menjelaskan para tersangka memperjualbelikan vaksin yang seharusnya diperuntukkan bagi pelayan publik dan narapidana di Rutan Tanjung Gusta.

"Tapi itu tidak diberikan ke sana. Tapi diberikan kepada masyarakat yang membayar," ujarnya.

Panca menjelaskan, para tersangka memiliki peran masing-masing dalam kasus dugaan jual beli vaksin Covid-19 jenis Sinovac itu. SW, yang merupakan agen properti dari perumahan, bertugas mengumpulkan masyarakat yang hendak divaksin dengan cara meminta imbalan Rp 250 ribu per orang.

"Ternyata SW berkoordinasi dan dibantu oleh aparatur sipil negara yang merupakan dokter dari Rutan Tanjung Gusta Medan, yaitu IW," jelasnya.

Kemudian, IW dan KS selaku aparatur sipil negara diketahui sebagai pihak yang menerima suap atau hasil pembayaran vaksin tersebut.

"Tersangka ke empat adalah SH selaku aparatur sipil negara di Dinas Kesehatan Sumut yang memberikan vaksin kepada IW tanpa melalui mekanisme dan prosedur sebagaimana yang seharusnya," pungkas Panca.

Dalam kasus ini, polisi menjerat para tersangka dengan pasal berbeda. IW dan KS dikenakan Pasal 12 huruf a dan b atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lalu, SW, dikenakan Pasal 5 Ayat 1 huruf a dan b atau Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001. Kemudian, SH dikenakan Pasal 372 dan 374 KUHP, bahkan tidak tertutup kemungkinan akan diterapkan pasal tindak pidana korupsi.

Reporter: Supriatin

Sumber; Merdeka

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya