Sri Mulyani: Konsumsi Masyarakat Mulai Pulih di April 2021

Sri Mulyani menjelaskan, consumer confidence index di April 2020 berada di level 101,5. Angka ini di atas posisi sebelum terjadinya Covid-19 di awal 2020.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Mei 2021, 09:46 WIB
Pengunjung berada di eskalator di mal Taman Anggrek, Jakarta, Senin (21/12/2020). Kegiatan usaha seperti restoran, pusat perbelanjaan dan kafe diharapkan berhenti beroperasi pukul 19.00 WIB pada 24-27 Desember 2020 serta 31 Desember 2020-3 Januari 2021. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, konsumsi masyarakat pada April 2021 sudah berada dalam tren pemulihan. Konsumsi masyarakat ini menjadi salah satu faktor terbesar dalam pemulihan ekonomi nasional.

Sri Mulyani menjelaskan, consumer confidence index di April 2020 berada di level 101,5. Angka ini di atas posisi sebelum terjadinya Covid-19 di awal 2020.

"Indeks kita juga melonjak 9,8 persen dan ini adalah kenaikan yang cukup signifikan dan 3 bulan berturut-turut semenjak Februari," jelas Sri Mulyani dalam Konferensi Pers ABPN Kita, Selasa (25/5/2021).

Bendahara Negara itu mengatakan, konsumsi masyarakat bisa meningkat jika Covid-19 dikendalikan. Hal ini yang kemudian membuat konsumsi masyarakat pada April 2021 menunjukan tren kenaikan, terutama disumbangkan oleh makanan dan minuman.

"Meskipun kita lihat semua tren membalik untuk sandang kemarin menjelang Lebaran terjadi peningkatan yang cukup signifikan rekreasi masih datar dan perlengkapan rumah tangga juga sudah menunjukkan tren pembalikan meskipun levelnya masih jauh di bawah sebelum terjadinya Covid-19," jelasnya.

Jika melihat lebih jauh, konsumsi terutama pada masyarakat berdasarkan kelompok income dari survei dari Mandiri Spending Indeks terlihat bahwa kenaikan kondisi dari masyarakat menyebabkan konsumsi atau spending meningkat. Di mana indeks nilai belanja sudah berada di level 112,5.

"Sekali lagi di bandingkan kondisi sebelum Covid-19 itu sudah lebih tinggi dia juga yang indeks frekuensi belanja jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi sebelum Covid-19 yang dengan bestline 100 jadi ini menggambarkan suatu pemulihan," jelas Sri Mulyani.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Konsumsi Masyarakat Turun Gara-Gara Orang Kaya Irit Belanja

Petugas mengecek suhu tubuh pengunjung di pusat perbelanjaan di Depok, Jawa Barat, Rabu (17/6/2020). Mulai 16 Juni 2020, sejumlah pusat perbelanjaan di Kota Depok kembali beroperasi selama masa PSBB proporsional, namun tetap dengan memerhatikan protokol kesehatan. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Sebelumnya, skonom sekaligus Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah menyebut, kontraksi ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19 merupakan sebuah keniscayaan.

Menyusul dampak dari berbagai kebijakan pembatasan aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat guna memutus mata rantai penyebaran virus corona jenis baru itu.

"Dengan kebijakan pembatasan sosial aktivitas ekonomi tersebut, maka semua baik dari produksi maupun konsumsi dua duanya terdampak negatif," ungkapnya dalam acara Dialog Produktif Rabu Utama Menuju Sembuh Ekonomi Tumbuh, Rabu (24/3).

Piter mengungkapkan, turunnya konsumsi masyarakat sendiri tak lepas dari keputusan kelompok kelas atas yang kekeh untuk menahan pengeluarannya. Sikap irit sendiri lantaran kekhawatiran mereka untuk beraktivitas di luar rumah, termasuk berbelanja di masa kedaruratan kesehatan ini.

"Kemudian, Kelompok Menengah berikutnya juga harus jaga-jaga untuk masa depan mereka. Mereka masih tidak tahu sampai kapan pandemi berakhir. Mereka meyakinkan bahwa punya uang harus secure, sehingga menahan belanja," tambahnya.

Turunnya konsumsi ini diperparah dengan merosotnya kemampuan daya beli kelompok kelas bawah. Hal ini setelah mayoritas telah kehilangan pendapatan maupun mengalami pengurangan pendapatan akibat dampak pandemi Covid-19.

"Karena kelompok bawah ini terkena PHK, ada yang tidak di PHK tapi gajinya tidak di potong. Jadi, tiga hal ini jelas mengurangi konsumsi," ucapnya.

Sedangkan, turunnya produksi lebih disebabkan oleh berbagai pembatasan kebijakan sosial yang turut mengurangi kapasitas produksi. "Seperti PPKM, bahkan di awal-awal PSBB itu mereka tidak boleh beroperasional sama sekali," ucapnya.

Selanjutnya, turunnya produksi juga tak lepas dari daya beli masyarakat yang terus melemah. Sehingga otomatis produsen memilih untuk menutup operasional di sementara waktu.

"Oleh karena itu, saya selalu mengatakan di tengah pandemi ini penurunan atau kontraksi ekonomi adalah suatu keniscayaan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Bahkan, kalau dibandingkan kontraksi yang kita alami relatif lebih baik dibandingkan negara lain," keras dia menekankan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya