Ekonom: Jangan Naikkan Tarif PPN, Masih Ada Opsi Lain

Di negara lain seperti Jerman, Inggris dan Irlandia selama pandemi kebijakan penurunan tarif PPN atau VAT dianggap efektif mempercepat pemulihan daya beli.

oleh Tira Santia diperbarui 27 Mei 2021, 13:21 WIB
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics (Indef), Bhima Yudhistira, menyatakan tidak setuju jika pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pasalnya masih ada opsi lain untuk menaikkan penerimaan negara, salah satunya melalui evaluasi belanja pajak.

“Tidak setuju dinaikkan tarif PPN, masih banyak opsi lain untuk naikan penerimaan negara salah satunya lewat evaluasi belanja pajak khususnya yang diberikan ke korporasi, hingga pemajakan lebih besar terhadap harta kekayaan kelompok 20 persen pengeluaran paling atas,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Kamis (27/5/2021).

Menurutnya, penyesuaian tarif PPN terlalu berisiko bagi seluruh sektor ekonomi. Maka wacana kenaikan tarif PPN punya beberapa implikasi, pertama, harga barang-barang akan mengalami kenaikkan.

“Naiknya harga barang-barang ditengah pemulihan ekonomi akan memukul daya beli masyarakat khususnya kalangan menengah dan bawah. Inflasi tercipta karena PPN akan mempengaruhi harga akhir di tangan konsumen,” ujarnya.

Kemudian, dampak lainnya, sektor ritel omset bisa turun dan berpengaruh pada tutupnya bisnis yang tidak mampu bersaing di tengah penyesuaian PPN.

“Padahal sektor ritel juga berkaitan dengan sektor lain seperti logistik, pertanian, hingga industri manufaktur. Serapan tenaga kerja juga diperkirakan terpengaruh oleh kebijakan penyesuaian PPN,” kata Bhima.

Padahal, kata Bhima, di negara lain seperti Jerman, Inggris dan Irlandia selama pandemi kebijakan penurunan tarif PPN atau VAT dianggap efektif mempercepat pemulihan daya beli dan konsumsi rumah tangga.

Menurutnya, Pemerintah harusnya mengkaji secara dalam ketimbang insentif penurunan PPh badan dan PPNBM mobil, lebih efektif justru menurunkan tarif PPN bukan malah menaikkannya. Lantaran dikhawatirkan ada dampak terhadap penurunan kepatuhan pajak.

“Seperti terjadi pada kasus kenaikan cukai rokok yang berkorelasi dengan naiknya peredaran rokok ilegal. Kalau pajak barang dinaikkan, sementara pengawasan lemah justru ada kebocoran penerimaan negara. Konsumen akan cari alternatif yang murah,” ungkapnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Defisit APBN

Sebuah banner terpasang di depan pintu masuk kantor pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Minggu (25/9). Mendekati hari akhir periode pertama, Kantor Pajak membuka pendaftaran pada akhir pekan khusus melayani calon peserta tax amnesty. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Adapun Bhima mengungkapkan alasan Pemerintah akan naikkan PPN lantaran defisit APBN masih belum kembali ke level 3 persen, dengan beban utang yang meningkat. Selain itu, rasio pajak juga cenderung konsisten menurun sejak tax amnesty jilid I 2016 lalu.

Misalnya pada 2020 rasio pajak ada di 8,3 persen. Penurunan pendapatan negara khususnya dari pajak sudah terjadi sebelum masa pandemi.

“Nah, kira-kira pandemi justru memperparah rasio pajak. Kesulitan berikutnya adalah penyidikan hingga pemeriksaan pajak WP yang belum mengikuti tax amnesty,” katanya.

Kendati begitu, meskipun basis data cukup lengkap dari mulai AEOI, Panama Papers, sampai Fincen papers. Mungkin juga political will untuk ungkap penghindaran pajak WP kakap sulit, sehingga dicari jalan lain lewat kenaikan PPN.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya