Menolak Buta Huruf, 9 Orang Rimba di Jambi Ikut Ujian Keaksaraan

Sargawi, pimpinan Orang Rimba dan 9 anggota kelompoknya di Sungai Pelakar, Desa Tanjung, Kecamatan Bathin VIII, Kabupaten Sarolangun, Jambi, mengikuti ujian keaksaraan.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 28 Mei 2021, 12:00 WIB
Sargawi (kanan) sedang mengerjakan soal ujian keaksaraan bersama anggota kelompoknya. (Liputan6.com/ dok KKI Warsi)

Liputan6.com, Jambi - Kening Sargawi mengerut ketika membaca lembaran kertas yang sudah terpampang di hadapannya. Pimpinan Orang Rimba di Sungai Pelakar, Desa Tanjung, Kecamatan Bathin VIII, Kabupaten Sarolangun, Jambi, itu bersama sembilan anggota kelompoknya sedang mengerjakaan soal-soal ujian keaksaraan dasar.

Meski terbilang sudah berumur tua, tetapi Sargawi terlihat masih semangat mengerjakan satu persatu soal yang diujikan. Ujian keaksaraan itu merupakan program pemerintah untuk memberantas buta aksara bagi masyarakat adat Orang Rimba.

Program yang telah berlangsung sejak Februari lalu, kini tiba saatnya para peserta pendidikan keaksaraan melaksanakan ujian untuk melihat kemampuan Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) dalam membebaskan buta aksara.

Meski terlihat cukup sulit menjawab butiran soal, namun Sargawi dan anggota rombongannya bisa menyelesaikan soal yang berisi pertanyaan menguji kemampuan membaca sekaligus menulis. Mereka juga diuji kemampuan untuk mengerjakan soal matematika sederhana berupa pertambahan, perkalian, dan pengurangan.

"Awak pengen Orang Rimba tidak tertinggal dari orang luar, makanyo awak ikut program pemerintah belajar membaco, menulis dan berhitung, bulih kami Orang Rimbo tidak buto hurui (supaya kami Orang Rimba tidak buta huruf)," kata Sargawi, Selasa (25/5/2021).

Sebelumnya, dalam program memberantas buta aksara itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar PKBM (Kembang Bungo) yang diorganisasi oleh Fasilitator Pendidikan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi.

Program ini dilakukan dengan cara belajar 5 kali dalam seminggu, dengan waktu belajar 1,5-2 jam sehari atau 114 jam pertemuan.

Orang Rimba merupakan kelompok masyarakat yang boleh disebut sebagai komunitas yang masih belum melek aksara. Pembalajaran untuk Orang Rimba baru dimulai pada akhir tahun 1990-an, dengan inisiatif KKI Warsi.

Fasilitator Pendidikan berkunjung dari satu kelompok ke kelompok lain untuk mengajari mereka huruf dan angka. Hanya saja pendidikan ini ditujukan untuk anak-anak, sedangkan orang dewasa masih belum mau mengikuti pendidikan. Alasannya Orang Rimba dewasa sibuk mencari penghidupan berburu dan meramu hasil hutan.

Selain itu juga Orang Rimba juga memiliki mobilitas yang tinggi, akses untuk menjangkau mereka juga sulit, jadi kita harus masuk ke dalam rimba untuk mengajar.

"Kalau mereka yang mendekat ke pusat pendidikan itu sulit dilakukan. Perbedaan budaya dengan komunitas di luar Orang Rimba termasuk menjadi penyebab enggannya Orang Rimba untuk menjangkau pendidikan," kata Yohana Marpauang, Fasilitator Pendidikan Warsi yang berkunjung ke kelompok-kelompok Orang Rimba untuk memantau pelaksanaan ujian keaksaraan ini.

Simak video pilihan berikut ini:


Sadar Pentingnya Melek Huruf

Suasana Orang Rimba diberi arahan oleh tutor usai mengerjakan soal ujian keaksaraan. (Liputan6.com/ dok KKI Warsi)

Pendidikan yang diselenggarakan Warsi ini ternyata mendapat perhatian dari pemerintah. Hal itu karena sejalan dengan program nasional memberantas buta aksara untuk semua anak bangsa.

Untuk itulah awal tahun 2021, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggandeng Warsi untuk menyelenggarakan pendidikan bagi kelompok Orang Rimba dewasa untuk ikut program belajar keaksaraan ini.

“Awalnya kita diskusikan dengan para tumenggung dan rerayo (orang tua,red) apakah mereka mau belajar, setiap hari dan patuh dengan jadwal pelajaran, cukup panjang diskusinya sehingga akhirnya mereka mau belajar,” kata Yohana.

Yohana mengatakan, saat ini Orang Rimba juga sudah makin menyadari pentingnya melek aksara. Ini terlihat dari antusias para orang tua untuk menyuruh anak-anaknya sekolah, baik sekolah dengan Warsi dengan metode pendidikan alternatf, maupun dengan ke sekolah formal.

Sementara itu, untuk pendidikan keaksaraan dasar ini diikuti oleh 7 rombong belajar (rombel) di Kabupaten Sarolangun. Di Desa Bukit Suban Kecamatan Air Hitam terdapat empat rombel yaitu Saidun, dengan tutor Anasri dan Heri.

Kemudian berlokasi Sungai Tengkuyung, Meriau, tutor Tri Kartini dan Chairil, berlokasi di Sungai Tengkuyung, Nggrib, tutor Sepinta dan Besigar, lokasi Sungai Punti Kayu dan Nangkuy, tutor Susan dan Siti Siam, Lokasi Air Panas.

Sedangkan, di Desa Tanjung Kecamatan Pamenang terdapat rombel Sargawi, tutor Meksi dan Sargawi, selanjutnya ada rombel Juray, tutor Yosep dan Dominggus, Lokasi Desa Limbur Tembesi Kecamatan Bathin Delapan serta rombel Tumenggung Lintas tutor Puji dan Selvi, Desa Sukajadi.

 


Tantangan

Gentar Tampung (kiri) mengajari mengenal huruf dan angka bagi anak-anak rimba di wilayah pedalaman Makekal Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi, Kamis (19/11/2020). Gentar menjadi salah satu kader pendidikan bagi anak-anak rimba. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Semangat Orang Rimba untuk memperoleh pendidikan ini terlihat cukup baik. Dengan semangat inilah Sargawi dan anggota kelompoknya tak menyerah untuk belajar dengan tutor yang sudah ditunjuk Dinas Pendidikan Sarolangun selaku perpanjangan tangan Kementerian di daerah dan PKBM Kembang Bungo.

“Kalau awak lah pandai mambaco awak tidak dipaloloi (dibohongi) orang lain,” kata Sargawi.

Dalam belajar ini, ada banyak tantangan yang dihadapi, utamanya menyesuaikan jadwal belajar dengan penghidupan Orang Rimba. Kehidupan Orang Rimba yang berburu dan meramu hasil hutan harus menyesuaikan dengan jadwal belajar mereka.

“Awok (saya) ikut ujian supayo dapat ijazah,” kata Sargawi sambil tertawa ringan. Ijazah yang dimaksud adalah Sukma (surat keterangan melek aksara).

Kepala Bidang Pendidikan Anak Usia Dini, Non Formal dan Informal (PAUDNI) Dinas Pendidikan Sarolangun Zulhitmi menyebutkan program keaksaraan dibuat dengan harapan, warga bisa menulis dan membaca, minimal bisa memahami siapa nama keluarga besar mereka dan bisa berhitung.

“Usaha dari mereka yang belajar di sini bisa menulis, membaca dan menghitung,” kata Zulhitmi yang ikut memantau pelaksanaan ujian di Kelompok Sargawi itu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya