7 Respons Menentang Pemecatan 51 Pegawai KPK Tak Lolos TWK

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menuntut KPK dapat bersikap terbuka soal keputusannya memberhentikan 51 pegawai yang tak lolos TWK.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Mei 2021, 16:04 WIB
Peserta aksi dari Koalisi Masyarakat Sipil AntiKorupsi membawa poster saat berunjukrasa di depan Gedung KPK Jakarta, Selasa (18/5/2021). Dalam aksinya mereka memberi dukungan kepada 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK dalam tahap alih status kepegawaian. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan bahwa 51 orang dari total 75 pegawai yang tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) akan dipecat dari lembaga antirasuah.

Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata usai rapat koordinasi bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN), Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Menteri Hukum dan HAM.

"Yang 51 tentu karena sudah tidak bisa dilakukan pembinaan, tentu tidak bisa bergabung lagi dengan KPK," ujar Alex di Gedung BKN, Cililitan, Jakarta Timur, Selasa, 25 Mei 2021.

Terkait hal tersebut, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid angkat bicara. Dia menuntut agar KPK dapat bersikap terbuka soal keputusannya memberhentikan 51 pegawai yang tak lolos TWK.

"KPK harus transparan dan memberikan informasi yang jelas kepada publik tentang kriteria yang membuat 75 pegawai ini tidak lolos TWK, maupun apa yang membedakan 51 pegawai yang diberhentikan dengan 24 pegawai yang akan diberikan ‘pembinaan’. KPK harus menunjukkan transparansi dalam proses ini dan membuka pertanyaan-pertanyaan dalam TWK serta hasilnya kepada publik," tutur Usman Hamid dalam keterangan tulis yang diterima Liputan6.com, Selasa, 25 Mei.

Selain itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mendesak Dewan Pengawas (Dewas) KPK untuk segera menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik seluruh pimpinan KPK.

Segera disidangkan para pimpinan dalam dugaan pelanggaran kode etik terkait pemberhentian pegawai dalam tes wawasan kebangsaan," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis diterima, Rabu, 26 Mei 2021. 

Berikut beberapa tanggapan yang menentang pemecatan 51 pegawai KPK tak lolos TWK, dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


1. Amnesty International Indonesia Desak Firli Bersikap Terbuka

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mendesak lembaga pimpinan Firli Bahuri untuk bersikap terbuka soal keputusannya akan memberhentikan pagawai KPK.

Usman meminta Firli mennjelaskan kriteria apa yang dapat menyebabkan 51 orang tersebut diberhentikan, sedangkan 24 lainnya mendapat pembinaan.

Menurut Usman, pemberhentian itu merupakan pelanggaran atas hak kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama, dan berkeyakinan. Terlebih lagi, pertanyaan yang ada di TWK berisi persoanalan kepercayaan, agama, dan pandangan politik pribadi yang dianggap tidak ada hubungannya dengan wawasan kebangsaan para peserta,

Lalu, berdasarkan hak asasi manusia internasional maupun hukum di Indonesia, Usman mengatakan bahwa seorang pekerja harus dinilai berdasarkan kinerja dan juga kompetensinya bukan berdasarkan kepercayaan.

Pemberhentian yang dilakukan berdasarkan tes ini jelas melanggar hak-hak sipil para pegawai dan juga hak-hak mereka sebagai pekerja. Karena itu kami mendesak pimpinan KPK untuk segera menghentikan proses pemberhentian 51 pegawai KPK tersebut sambil menunggu hasil penyelidikan Komnas HAM yang sedang berjalan," kata Usman.

 


2. ICW Desak Dewas Sidangkan Para Pimpinan KPK

Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mendesak Dewan Pengawas KPK untuk segera menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik seluruh pimpinan KPK.

"Segera disidangkan para pimpinan dalam dugaan pelanggaran kode etik terkait pemberhentian pegawai dalam tes wawasan kebangsaan," ujar Kurnia dalam keterangan tertulis diterima, Rabu, 26 Mei 2021.

Tak hanya kepada Dewas KPK, dia juga meminta Presiden Jokowi untuk kembali proaktif dan meminta klarifikasi terkait pemecatan tersebut. Apalagi diketahui bahwa sebelumnya Jokowi telah meminta agar hasil TWK tak jadi dasar pemecatan.

"Presiden Joko Widodo memanggil, meminta klarifikasi, serta menegur Kepala BKN (Badan Kepegawaian Negara) dan seluruh pimpinan KPK atas kebijakan yang telah dikeluarkan perihal pemberhentian 51 pegawai KPK," tegas Kurnia.

Kurnia meyakini, apabila Jokowi telah bersuara, maka pemecatan dapat dibatalkan dan seluruh pegawai KPK yang kini berstatus non aktif dapat dialihkan menjadi Aparatur Sipil Negara atau ASN.

"Presiden Joko Widodo membatalkan keputusan Pimpinan KPK dan Kepala BKN dengan tetap melantik seluruh pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara," tandasnya.

 


3. PBNU Sebut Hasil TWK Tak Bisa Jadi Dasar Pemecatan

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pun turut menyoroti keputusan KPK memecat ke-51 pegawainya. PBNU menyayangkan, keputusan tersebut diambil dengan mengabaikan arahan Presiden Jokowi.

Menurut Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM PBNU, Rumadi Ahmad, Presiden Jokowi mengarahkan dengan jelas proses alih status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai tersebut. Hasil TWK juga tak bisa dijadikan dasar pemecatan.

"Saya menyayangkan KPK, BKN dan KemenPAN-RB yang tidak sepenuhnya menjalankan arahan Presiden, kalau tidak dikatakan pembangkangan," kata Rumadi kepada Liputan6.com, Rabu, 26 Mei.

Rumadi juga menyebut bahwa Presiden Jokowi perlu sesegera mungkin memanggil KPK untuk meminta penjelasan terkait keputusannya itu.

"Karena arahannya tidak dilaksanakan sepenuhnya, Presiden perlu memanggil KPK untuk mendapat penjelasan yang komprehensif. KPK sebagai lembaga yang terdampak langsung pemecatan pegawai KPK melalui TWK, tidak boleh berlindung di balik tim assesor dan lembaga lain seperti BKN dan KemenPAN-RB," tutur Rumadi.

Istana memiliki wacana untuk melibatkan NU dalam tes TWK. Terkait hal tersebut, Rumadi menyatakan bahwa pihaknya siap untuk terlibat.

"NU terbuka jika dimintai pertimbangan soal TWK," ujarnya.

Selain itu, Rumadi belum dapat memberikan banyak komentar soal pertanyaan TWK KPK yang katanya banyak menyinggung soal personal dan keyakinan. Hal itu dikarenakan Rumadi belum melihat materinya secara utuh.

 


4. Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK: Bentuk Pembangkangan

Sementara, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Giri Suprapdiono menyebut bahwa dirinya telah memprediksi pemecatan terhadap pegawai yang tak lolos TWK.

"Hari ini kita mendapatkan kabar yang sudah kita bisa prediksi. Tentu mengejutkan dan saya pikir sangat mengecewakan, karena 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan, kemudian 51 di antaranya diberhentikan atau dengan kata lain dipecat. Dan 24 di antaranya akan dibina dan tidak ada kepastian apakah mereka akan dilantik menjadi ASN," kata Giri melalui sebuah rekaman video, Selasa (25/5/2021).

Giri mengatakan, yang disampaikannya saat ini sebagai perwakilan rakyat Indonesia dan seluruh pegawai KPK. Menurut Giri, harapannya akan Indonesia yang bersih hingga simbol kejujuran dan integritas telah dirusak melalui beberapa upaya yang terlihat jelas.

"Tentu ini adalah bentuk dari suatu pembangkangan dari lembaga negara. Karena Presiden sudah jelas menyatakan bahwa 75 pegawai bisa dilakukan pembinaan pendidikan kedinasan, sehingga dia tidak harus menjadi keluar dari KPK dan dia bisa menjadi bagian dari pegawai-pegawai terbaik dari pemberantasan korupsi," ungkapnya.

Giri juga menuturkan bahwa menurutnya sistem lembaga antirasuah dirusak melalui revisi Undang-Undang KPK, sementara Sumber Daya Manusia (SDM) di dalamnya yang jelas-jelas berupaya memberantas korupsi dan membela Indonesia justru ditakut-takuti lewat sanksi dan cara yang dipaksakan.

"Kami minta kepada Bapak Presiden, Kepala Negara untuk bisa menengahi polemik ini. Mestinya pemberantasan korupsi tidak dihabiskan dengan hal yang tidak perlu. Kita ingin memberantas korupsi, bukan berpolemik seperti ini," kata Giri.

 


5. Sujanarko: Pimpinan KPK Abaikan Pernyataan Jokowi

Hal senada juga diungkap Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko. Dia berpendapat bahwa pernyataan Jokowi telah diabaikan oleh pimpinan KPK.

"Lembaga eksekutif di bawah koordinasi seperti abai terhadap instruksi lembaga kepresidenan. Agak menakutkan sih, masa depan republik ini kalau lembaga presiden pun sudah tidak dipatuhi oleh aparatur di bawahnya," ucap Sujanarko saat dihubungi merdeka.com, Rabu, 26 Mei 2021.

Menurut Sujanarko, pemberian label kepada 51 pegawai KPK yang telah dianggap tak lagi dapat dibina adalah keputusan yang tidak mendasar.

Hal ini dikarenakan, metodologi assemen berbasis psikometri, standar psikometri internasional tes yang dilakukan untuk TWK memiliki tingkat akurasi reablenya hanya 40 sampai dengan 60 persen.

"Dengan akurasi yang sangat rendah ini sudah berani-beraninya menyatakan warga negara yang mengabdi bertahun-tahun dinyatakan tidak bisa dididik wawasan kebangsaan," jelasnya.

Maka dari itu, Sujanarko mendorong untuk mengadakan audit publik terkait pemecatan 51 pegawai KPK yang patut diduga menjadi target untuk disingkirkan oleh KPK.

 


6. Novel Baswedan: TWK Alat untuk Penyingkiran Pegawai KPK

Penyidik KPK, Novel Baswedan turut angkat bicara. Menurutnya, keputusan yang disampaikan pimpinan KPK telah menggambarkan sikap pimpinan yang memaksa untuk menyingkirkan 75 pegawai KPK, baik secara langsung maupun tidak.

"Adanya perubahan dari 75 menjadi 51, jelas menggambarkan bahwa TWK benar hanya sebagai alat untuk penyingkiran pegawai KPK tertentu yang telah ditarget sebelumnya," ujar Novel dalam keterangan yang diterima, Rabu, 26 Mei 2021. 

Hal itu membuat Novel semakin yakin bahwa ada suatu agenda yang sedang dijalankan oknum pimpinan KPK untuk menyingkirkan pegawai KPK. Sekalipun pemecatan karena faktor TWK telah diminta Presiden Jokowi tak akan terjadi.

"Oknum pimpinan KPK tetap melakukan rencana awal untuk menyingkirkan pegawai KPK menggunakan alat TWK, sekalipun bertentangan dengan norma hukum dan arahan Bapak Presiden," tegas Novel.

Meskipun Presiden Jokowi telah angkat bicara agar 75 pegawai tidak di non aktifkan, dengan meminta hasil tes, tidak serta merta jadi alasan untuk memberhentikan puluhan pegawai lembaga KPK tersebut.

Novel menuturkan, upaya untuk membuat KPK lengah ini bukanlah cara baru. Menurutnya, menyingkirkan pegawai KPK yang ditarget bisa jadi merupakan tahap akhir untuk mematikan perjuangan pemberantasan korupsi.

"Saya yakin kawan-kawan akan tetap semangat, karena memang tidak semua perjuangan akan membuahkan hasil. Tetapi kami ingin memastikan bahwa perjuangan memberantas korupsi yang merupakan harapan masyarakat Indonesia ini harus dilakukan hingga akhir," ujarnya.

"Sehingga bilapun tidak berhasil maka kami akan dengan tegak mengatakan bahwa kami telah berupaya dengan sungguh-sungguh, hingga batas akhir yang bisa diperjuangkan," tambah Novel.

 


7. Pakar Hukum Tata Negara Pertanyakan Pengujian TWK

Selain itu, Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti tengah mempertanyakan kredibilitas pengujian TWK terhadap 75 pegawai khususnya 51 orang yang dipecat.

"TWK itu sebenarnya, selain tidak ada dasar hukumnya, tidak pernah dibuka hasilnya. Kenapa tidak memenuhi syarat dan kemudian kenapa merah sekali sehingga tidak bisa dibina. Tidak ada yang tahu, apa hasil sebenarnya," ujar Bivitri kepada awak media, Rabu, 26 Mei 2021. 

Bivtri juga menyinggung pernyataan Wakil Ketua KPK, Nurul Gufron ketika berbicara dalam salah satu stasiun televisi swasta yang mengaku belum pernah membaca detail hasil penilaian dari Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Hal itu membuat Bivtri meragukan penilaian yang menyebut 51 pegawai tak lolos TWK sudah tidak bisa dibina lewat pendidikan wawasan kebangsaan dan bela negara, sehingga harus dipecat.

"Buka dulu, apa sebenarnya pertimbangan kenapa sebagian dianggap merah sampai tidak bisa dibina lagi. Saya terus terang, melihat rekam jejak mereka, rasa-rasanya enggak percaya mereka sampai separah 'tidak bisa dibina lagi'. Tapi kalau pun ternyata kita yang salah menilai orang, buka dulu hasilnya, apa justifikasinya dan bagaimana proses penilaian itu dilakukan," jelasnya.

Menurutnya, hal ini juga bisa menjadi awal mula terbentuknya model penyaringan bagi orang-orang yang hanya pro dengan pemerintah seperti penelitian khusus (Listus) pada zaman Orde Baru.

Terlebih lagi, keputusan hasil rapat koordinasi menunjukkan bahwa KPK membangkang terhadap arahan Presiden Jokowi.

"Kalau ini tidak dipertanyakan, jangan kaget kalau nanti ada lagi bebersih lembaga dengan model ini. TWK memang ada dalam sistem kita, tapi menurut saya, TWK terhadap KPK ini disalahgunakan untuk menyaring orang, dan toh TWK itu memang belum teruji sebagai metode, apalagi kalau TWK-nya pakai IMB," tandas Bivitri.

 

Cinta Islamiwati

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya