Terapi Gen dan Kacamata Khusus Bantu Tunanetra dapat Penglihatan Sebagian

Pria tunanetra yang hanya bisa melihat sedikit cahaya sekarang bisa melihat bentuk meskipun masih kabur, berkat terapi gen dan sepasang kacamata yang direkayasa secara khusus.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 28 Mei 2021, 18:00 WIB
Seorang tunanetra membaca Al-Quran braille saat tadarus bersama secara online lewat aplikasi di Jakarta, Selasa (12/5/2020). Di tengah pandemi COVID-19 ini, sejumlah tunanetra melakukan tadarus bersama guna meningkatkan keimanan dan ketakwaan di bulan Ramadan 1441 Hijriah. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta Seorang pria tunanetra yang hanya bisa melihat sedikit cahaya sekarang bisa melihat bentuk meskipun masih kabur, berkat terapi gen dan sepasang kacamata yang direkayasa secara khusus.

Menurut sebuah laporan baru yang diterbitkan Senin (24/05/2021) di jurnal Nature Medicine pria tersebut didiagnosis dengan kondisi yang disebut retinitis pigmentosa 40 tahun lalu, pada usia 18 tahun. Menurut National Eye Institute (NEI), penderita retinitis pigmentosa membawa gen yang salah karena banyak mutasi, yang menyebabkan sel-sel sensitif cahaya di retina di bagian belakang mata rusak.

Dilansir dari Livescience, gen ini biasanya akan mengkode protein fungsional di retina, tetapi gagal membangun protein tersebut, atau membuat protein abnormal yang tidak berfungsi atau menghasilkan zat yang secara langsung merusak jaringan retina. Menurut NEI, kondisi tersebut mempengaruhi sekitar 1 dari 4.000 orang di seluruh dunia dan dilansir dari BBC, terkadang juga dapat menyebabkan kebutaan total, seperti yang terjadi pada pasien berusia 58 tahun dalam studi baru tersebut.

Dalam upaya untuk mengobati kehilangan penglihatan pria itu, para ilmuwan memasukkan gen yang mengkode protein penginderaan cahaya ke dalam virus yang dimodifikasi, kemudian menyuntikkan vektor virus yang diubah secara genetik itu ke salah satu matanya.

Berdasarkan laporan dari MIT Technology Review, protein tersebut yang disebut ChrimsonR, adalah versi rekayasa dari protein peka cahaya yang ditemukan di alga uniseluler, yang memungkinkan organisme bersel tunggal untuk mendeteksi dan bergerak menuju sinar matahari.

ChrimsonR termasuk dalam keluarga protein peka cahaya yang disebut channelrhodopsins, oleh karena itu ditambahkan "H" dalam crimson, dan telah dimodifikasi untuk bereaksi terhadap warna dalam ujung kemerahan spektrum warna, yaitu cahaya kuning. Dengan menyuntikkan gen ChrimsonR ke dalam retina, khususnya ke dalam sel ganglion retina (sejenis sel saraf yang mengirimkan sinyal visual ke otak), tim peneliti berharap membuat sel-sel ini sensitif terhadap cahaya kuning-oranye.

 

Simak Video Berikut Ini:


Kacamata khusus

Setelah itu, digunakanlah kacamata khusus untuk mengaktifkan fungsinya. Kacamata tersebut menangkap perubahan intensitas cahaya dari lingkungan dan kemudian menerjemahkan sinyal itu menjadi gambar kuning yang intens yang diproyeksikan langsung ke retina pasien, dengan tujuan mengaktifkan ChrimsonR.

Menurut laporan BBC, butuh beberapa bulan hingga sejumlah besar ChrimsonR terakumulasi di mata pria itu dan mulai mengubah penglihatannya. Tetapi akhirnya ia mulai melihat pola cahaya dengan bantuan kacamata khusus tersebut.

"Pasien merasakan, menemukan, menghitung, dan menyentuh ​​objek yang berbeda sendirian menggunakan matanya yang sedang dalam perawatan, saat mengenakan kacamata khusus," tulis peneliti dalam penelitian tersebut. Misalnya, pasien jadi dapat melihat buku catatan dan cangkir diletakkan di atas meja di depannya, meskipun ketika diminta untuk menghitung cangkir, ia tidak selalu menyebutkan jumlah yang benar.

Dibandingkan saat sebelum menerima terapi tersebut, pria itu sebelumnya tidak dapat mendeteksi objek apa pun, dengan atau tanpa kacamata, dan setelah suntikan, ia hanya bisa melihat saat mengenakan kacamata, karena mereka mengubah semua cahaya menjadi rona kuning.

Selain buku catatan dan cangkir, pasien dilaporkan dapat melihat garis putih yang dicat di tempat penyeberangan pejalan kaki. "Pasien ini awalnya agak frustasi karena butuh waktu lama antara injeksi dan waktu ia mulai melihat sesuatu," kata Dr. José-Alain Sahel, seorang dokter mata dan ilmuwan di University of Pittsburgh dan Institute of Vision di Paris, dikutip dari BBC.

Butuh waktu lama yang dimaksud yaitu pasien mulai berlatih dengan kacamata sekitar 4,5 bulan setelah injeksi dan baru mulai melaporkan peningkatan penglihatannya sekitar 7 bulan setelah itu, lapor penelitian tersebut. Namun sekalinya ia melaporkan bisa melihat, ia bisa melihat sampai garis-garis putih di seberang jalan yang membuatnya sangat bersemangat, termasuk tim peneliti, jelas Sahel.

Meskipun hingga saat ini penglihatan pria itu masih cukup terbatas, ia hanya dapat melihat gambar monokromatik dan dengan resolusi yang cukup rendah. Namun temuan ini memberikan bukti konsep bahwa menggunakan terapi optogenetik (secara luas menjelaskan teknik penggunaan modifikasi cahaya dan genetik untuk mengontrol aktivitas neuron) untuk memulihkan penglihatan sebagian mungkin dapat diwujudkan, kata penulis senior Dr. Botond Roska, direktur pendiri Institute of Molecular and Clinical Ophthalmology Basel di University of Basel, dikutip dari BBC.

Terlepas dari hasilnya yang menarik, penelitian ini masih terbatas karena hanya satu pasien yang menerima pengobatan sejauh ini, kata James Bainbridge, profesor studi retina di University College London yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut, dikutip dari BBC.


Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya