Liputan6.com, Jakarta Kasus pemerkosaan yang dilakukan tersangka AT (21) terhadap seorang remaja perempuan di bawah umur berusia 15 tahun terus diproses pihak kepolisian. Pelaku yang merupakan anak anggota DPRD Bekasi itu kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sebelumnya, ayah tersangka yang merupakan politikus Gerindra mengungkapkan permintaan maafnya atas perbuatan bejat anaknya. Ia menyatakan akan menyerahkan semua proses hukum kepada pihak kepolisian.
Advertisement
"Sedikit pun saya tidak mengintervensi. Saya serahkan sepenuhnya kepada Polres Metro Bekasi Kota," ujar Ibnu Hajar Tanjung.
Kini pelaku yang sudah ditetapkan menjadi tersangka ingin menikahi korban sebagai bentuk tanggung jawab perbuatannya. Namun, wacana tersebut ditolak mentah-mentah oleh ayah korban.
Terkait wacana tersebut, baru-baru The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pun turut memberikan komentarnya. Menurutnya langkah anak anggota DPRD Bekasi tersebut tidak bisa dibenarkan.
Berikut sederet perkembangan terbaru kasus anak anggota DPRD Bekasi yang melakukan pemerkosaan terhadap remaja PU dihimpun Liputan6.com:
Saksikan video pilihan di bawah ini:
1. Pelaku Ingin Nikahi Korban karena Sayang
Tersangka AT, berdalih menyayangi korban dan ingin bertanggungjawab atas perbuatannya.
"AT mengaku sayang dan tulus sama PU. Ketika ditanya mau atau tidak dinikahkan, dia jawab bersedia. Karena (tersangka dan korban) saling sayang sebenarnya," kata kuasa hukum AT, Bambang Sunaryo, Rabu, 26 Mei 2021.
Meski demikian, ia menegaskan hal ini tak serta merta membatalkan proses hukum terhadap tersangka. Rencana pernikahan diakui Bambang merupakan bentuk tanggung jawab atas dosa yang diperbuat AT.
"Kalau bahasanya ini kan perzinahan, jadi supaya tidak menanggung dosa. Kalau memungkinkan, kita nikahkan saja, kan gitu," ujar Bambang.
Advertisement
2. Wacana Tersangka Ditolak Ayah Korban
D, ayah korban pemerkosaan anak anggota DPRD Kota Bekasi menolak wacana tersangka AT (21) yang ingin menikahi putrinya, PU (15).
Menurut D, pernikahan hanya akan membawa masalah baru bagi korban yang masih di bawah umur.
"Dari undang-undang perkawinan sudah jelas dilarang. Saya ini enggak akan mau mengikuti pelanggaran dari undang-undang perkawinan negara kita," kata D, Kamis, 27 Mei 2021.
Ayah korban menjelaskan potensi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kemungkinan besar akan terjadi jika keduanya menikah.
Karena seperti diketahui, tersangka disebutkan juga melakukan kekerasan fisik kepada korban selama disekap.
Hal ini tentunya menjadi sebuah pertimbangan besar bagi orangtua korban yang tak ingin sang anak mengalami hal-hal yang membuatnya kembali trauma.
"Dari segi moral, anak saya sudah dirusak. Begitu biadabnya dia, kemudian akhlak dia dimana? (Jika menikah) apa mungkin ke depannya bisa langgeng?" ucap ayah korban.
3. Ingin Nikahi Korban, ICJR: Tidak Bisa Dibenarkan
Sementara itu, The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan, rencana anak anggota DPRD Bekasi tersangka perkosaan remaja untuk menikahi korban bukanlah solusi yang tepat.
"Ide menikahkan korban dengan dalih menghindari dosa apalagi untuk meringankan hukuman jelas tidak dapat dibenarkan. Pelaku telah melakukan tindak pidana, yang merupakan urusan hukum publik, bukan ranah kekeluargaan atau keperdataan," tulis ICJR dalam keterangan tertulis, Jumat (28/5/2021).
ICJR meminta pihak kepolisian menelaah secara kritis soal permintaan penasihat hukum yang ingin menikahkan tersangka dengan korban. Menurutnya, hubungan seksual antara orang dewasa dengan anak-anak harus dikategorikan sebagai tindak pidana.
ekalipun ada narasi perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka. ICR mengutip Pasal 81 Perpu 1 tahun 2016 jo Pasal 76D UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
"Perbuatan melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain juga dinyatakan sebagai tindak pidana, Dikarenakan korban berusia anak, maka tidak ada konsep persetujuan murni orang dibawah usia 18 tahun untuk melakukan hubungan seksual," jelasnya.
Selain itu, jalan menikahkan anak korban dengan pelaku kekerasan seksual dalam hal ini perkosaan selain tidak sejalan dengan prinsip perlindungan hak anak juga bertentangan dengan komitmen pencegahan perkawinan anak. Sebagaimana pada Pasal 26 UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Advertisement
4. Ini Kata Psikolog Forensik
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menyatakan bahwa jika kasus tersebut perkosaan, maka pelaku harus diproses hukum.
Dari sisi hukum karena dikunci sebagai pidana, kata Reza, maka tidak patut jika mereka dinikahkan. Apalagi UU Perkawinan menetapkan 19 tahun sebagai batas usia minimal menikah.
Namun begitu, Reza menjelaskan bahwa anak-anak berusia 15 tahun pada dasarnya sudah punya kematangan seksual. Organ reproduksinya sudah matang. Hasrat seksualnya juga sudah muncul. Namun jika tidak terpandu, mereka juga bisa berperilaku seksual yang berisiko.
"Dari situ kita bisa bayangkan bahwa orang berumur 15 tahun, meski masih termasuk dalam rentang usia anak-anak, sebetulnya sudah bisa berkehendak melakukan hubungan seksual. Dengan kata lain, dari sisi psikologis, seks mau sama mau pada usia tersebut memang mungkin saja terjadi," jelas dia.
Jika mereka melakukan persetubuhan itu dengan suka sama suka atau yang terjadi adalah seks mau sama mau (masyarakat menyebutnya sebagai perzinaan, bedakan dengan definisi hukum), maka menurut Reza menikahkan mereka patut dipertimbangkan sebagai solusi.
"Batas usia nikah berdasarkan UU Perkawinan bisa disiasati dengan izin pengadilan," ujarnya.
Syauyiid Alamsyah