Balada Ambruknya Dermaga Danau Kandi Sawahlunto, Bekas Tambang yang Jadi Objek Wisata

Lubang bekas tambang seharusnya direklamasi.

oleh Novia Harlina diperbarui 30 Mei 2021, 04:00 WIB
Dermaga Danau Kandi, Sawahlunto sebelum ambruk. (Foto: Liputan6.com/Novia Harlina)

Liputan6.com, Sawahlunto - Objek wisata Danau Kandi Kota Sawahlunto, Sumatera Barat menelan korban. Sebanyak lima orang wisatawan meninggal dunia dalam insiden ambruknya dermaga di danau tersebut pada Rabu 26 Mei 2021.

Kejadian itu, mendapat sorotan dari berbagai pihak. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Barat menilai Danau Kandi yang merupakan bekas tambang tersebut tak seharusnya dijadikan objek wisata.

Kepala Departemen Kajian Advokasi dan Kampanye WALHI Sumbar, Tommy Adam menyampaikan bekas lubang tambang seharusnya direklamasi oleh perusahaan sesuai aturan perundang-undangan termasuk Danau Kandi

Danau Kandi merupakan salah satu objek wisata unggulan di Sawahlunto. Kawasan ini dulunya merupakan bekas penambangan batu bara milik PT. Bukit Asam.

"Dalam aturan UU No 3 Tahun 2020 tentang pertambangan mineral dan batubara bahwa pemegang izin usaha pertambangan dalam hal ini adalah Perusahaan, wajib melaksanakan reklamasi dan pasca tambang," katanya kepada Liputan6.com, Sabtu (29/5/2021).

Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.

Kegiatan reklamasi bukan hanya sekadar mengembalikan fungsi ekosistem seperti sedia kala, tapi juga menjadi pencegah munculnya berbagai masalah kesehatan masyarakat karena kandungan logam berbahaya bila dibiarkan tergenang begitu saja.

Secara garis besar, lanjut Tommy air yang menggenang di bekas tambang yang tak direklamasi mengandung zat-zat yang berbahaya bagi tubuh.

"Ironisnya, banyak warga di Kota Sawahlunto memanfaatkan air genangan bekas lubang tambang untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan irigasi pertanian setelah keberadaan tambang menghilangkan sumber air bersih mereka," ujarnya.

Ia mencontohkan, warga Desa Sikalang yang kekurangan sumber air terpaksa memanfaatkan air dari bekas kolam tambang batu bara jadi pasokan air untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakus.

Dahulu, lanjutnya dikatakan air dari Bukit Sibanta sangat berlimpah sebelum datangnya perusahaan tambang ke Desa Sikalang. Namun sekarang masyarakat yang memanfaatkan air bekas tambang tersebut merasa gatal-gatal sekujur tubuhnya.

Akibatnya masyarakat harus terpaksa mengeluarkan uang sebesar Rp150 ribu untuk obat makan dan salep pereda gatal. Bila gatal semakin kronis, masyarakat Sikalang terpaksa mandi menggunakan air dari galon minum.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


Persoalan Danau Kandi

Dari Analisis Menggunakan GIS oleh Walhi Sumbar, setidaknya terdapat seluas 13.95 hektare genangan Kandi yang menjadi lokasi jatuhnya lima orang korban meninggal dunia.

Lokasi yang luas ini seharusnya direklmasi dan dilakukan kegiatan pascatambang untuk mengembalikan pemulihan lingkungan dan kondisi ekosistem sebelum penambangan.

Tommy mengatakan membiarkan bekas lubang galian tambang kemudian menjadi genangan karena diisi oleh air hujan, kemudian menjadikannya tempat wisata adalah proses pelanggaran hukum dan pembodohan publik baik oleh perusahaan maupun pemerintah.

"Nyatanya air genangan bekas tambang tersebut mengandung racun zat yang berbahaya bagi makhluk hidup," ucapnya.

Danau Kandi bukan hanya satu-satunya di Kota Sawahlunto. Ada beberapa genangan lain yang dibiarkan saja oleh Perusahaan dan Pemerintah hingga menunggu adanya korban kembali.

Dalam hal ini, patut dipertanyakan tugas pokok dan fungsi pemerintah pusat yang tidak melakukan kewenangan dalam hal melakukan pengawasan dalam reklamasi.

Perusahaan yang terbukti mengabaikan kewajibannya untuk reklamasi dan pasca tambang, sementara gubernur dan pemerintah Kota juga tidak melakukan upaya reklamasi dari Jaminan dana reklamasi yang telah disetorkan oleh perusahaan.

Menurut Tommy, pada aspek hukum pidana patut dipertanyakan apa saja yang telah dilakukan oleh Penegak Hukum (Polsek, Polres, Polda, Kejaksaan) selama ini melihat pelanggaran hukum yang telah dilakukan. Kemudian pemerintah provinsi dan Kota Sawahlunto seharusnya mengantisipasi kejadian hilangnya nyawa manusia pada lokasi bekas pertambangan.

Kedua perangkat oemerintah itu juga harus menjalankan reklamasi dan pascatambang dilakukan sebagaimana mestinya dengan mempertimbangkan keselamatan manusia dan lingkungan.

"Pemerintah harus memberikan sanksi terhadap perusahaan yang abai melakukan reklamasi," sebut Tommy.

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya