Negara Tak Berdaya atas Tanah, Miliarder Dadakan Bakal Bermunculan

Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna menyoroti pengerjaan proyek infrastruktur yang kerap mangkrak akibat perkara pembebasan lahan.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 29 Mei 2021, 21:00 WIB
Pengendara motor terlihat melintas di proyek pembangunan jalan tol ruas Serpong - Cinere di Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/2/2021). Konstruksi fisik jalan bebas hambatan berbayar sepanjang 14,19 kilometer tersebut akan tuntas pada April 2021 mendatang. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna menyoroti pengerjaan proyek infrastruktur yang kerap mangkrak akibat perkara pembebasan lahan. Menurutnya itu jadi bukti tidak berdayanya negara atas kepemilikan tanah.

Yayat menilai, ongkos pembebasan lahan kerapkali lebih mahal daripada biaya pembangunan proyek. Di saat pemerintah memutar otak untuk mengeluarkan uang, warga di sekitar lokasi proyek justru ketiban untung jadi miliarder dadakan.

Kabar warga desa yang jadi miliarder berkat penjualan tanah memang tengah ramai menghiasi jagat media sosial, seperti di Desa Sumurgeneng, Tuban yang rata-rata warganya dapat ganti untung Rp 8 miliar dari pembebasan lahan untuk proyek kilang baru milik PT Pertamina (Persero).

Tidak lama setelahnya, sebanyak 444 warga Desa Kalekomara di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan juga mendadak kaya raya pasca menerima uang senilai Rp 476 miliar. Dana tersebut dicairkan sebagai kompensasi pembebasan lahan untuk proyek Bendungan Pamukkulu.

"Di kita pembebasan tanahnya kadang lebih mahal dibandingkan bangun jalannya. Contohnya kemarin, ada pembebasan lahan di Takalar, Sulawesi untuk bendungan yang warganya tiba-tiba jadi orang kaya semua," kata Yayat kepada Liputan6.com, Sabtu (29/5/2021).

"Begitu dapat pembebasan lahan, dia beli mobil tapi jalannya belum ada. Jalan masih jalan kampung tapi mobilnya mewah semua," dia menambahkan.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Pemerintah Punya Kuasa

Proyek Jalan Tol Serpong-Balaraja (dok: Sinarmas)

Menurut dia, fenomena tersebut marak bermunculan lantaran Pemerintah RI tak punya kuasa atas kepemilikan tanah. Ini berkebalikan dengan China yang tanahnya dikuasai dan dimiliki oleh negara.

"Kita itu dari dulu lagu lamanya pembebasan tanahnya lama, susah. Kalau di negara-negara seperti China itu enggak ada susah, semua tanah negara," ujar Yayat.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya