Liputan6.com, Demak - Kuliner berbahan dasar sayuran berbumbu saos kacang tanah bukan hal asing di Indonesia. Tiap daerah beda nama. Beda pula ciri khasnya.
Di Madiun, misalnya, ada pecel dengan ciri khas daun kemangi dan aroma kencur dalam saos kacang yang dominan. Di Jawa Tengah bagian barat ada lotek, yakni bermacam sayuran yang diguyur saos kacang manis, asam, asin.
Nah, di Kota Wali, Demak, ada makanan jadul yang mirip dengan dua jenis makanan tersebut. Para sesepuh menyebut kuliner tradisional itu sega ndoreng.
Baca Juga
Advertisement
Nasi ndoreng pernah begitu populer di masa lampau di Demak, meski kini hanya terdengar lamat-lamat lalu. Ada nilai historis yang membuat nasi khas Demak ini perlu dikenal oleh anak muda.
Meski sama-sama berbahan sayuran dengan bumbu saos kacang cair, tapi pecel dan sega ndoreng memiliki ciri khas masing masing. Sayuran dalam sega ndoreng betul-betul berasal dari bahan yang terkesan 'kuna'.
Alih-alih menggunakan sayuran yang banyak tersedia di pasar, sega ndoreng justru memerlukan sayuran berupa jenthut (jantung pisang), glandir (daun ubi jalar) pethet (biji lamtoro), tronggong (bunga turi), buah mlandingan muda, pucuk daun petai cina dan daun singkong.
Bahan-bahan tersebut direbus dan dicampurkan ke dalam nasi kukus. Sambal kacangnya juga berbeda dengan sambal pecel. Jika sambal pecel langsung diulek dan dicampur sayuran di atas cobek, maka sambal kacang ala nasi ndoreng, Demak, justru ditumis dulu.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Pelestarian Seda Ndoreng
Cara penyajian sega ndoreng juga khas yakni menggunakan daun pisang dibentuk kerucut yang disebut pincuk. Dalam pincuk tersebut nasi dan sayuran yang sudah disiram dengan saos kacang tersebut lalu diberi toping berupa taburan 'uyah goreng' makanan sejenis serundeng terbuat dari kelapa dibumbui dan digoreng tanpa minyak hingga kecokelatan.
Menurut Mbah Tianah (67), salah satu pedagang sega ndoreng mengaku sudah mengenal cara membuat kuliner rakyat ini sejak muda. Sebab orangtua dan para pendahulunya juga bermatapencaharian sebagai penjual sega ndoreng.
Kala itu, masyarakat Demak sangat menggemari makanan tradisional ini. Sayangnya tak semua penikmat sega ndoreng tahu nama dan filosofi kuliner asli Kota Wali ini. Mirisnya, di masa kini pembuat dan penjual sebagai pelestari sega ndoreng juga hanya para perempuan lansia.
Menyikapi salah satu budaya Demak yang hampir punah tersebut, maka Tatik Soelistijani, anggota DPRD Demak tak segan turun ke lapangan untuk mengembalikan memori rakyat Demak terhadap kuliner warisan nenek moyang ini. Tiap berdialog dengan warga ia selalu menyuguhkan nasi ndoreng.
"Sega ndoreng itu ya sebagai makanan rakyat jelata. Bahan bahannya bisa didapatkan dengan mudah di kebun kebun," kata Tatik saat memperingati bulan bakti Bung Karno, Selasa (1/6/2021) di Desa Kendaldoyong Kecamatan Wonosalam Demak.
Politisi PDI-P ini khawatir, generasi muda tak lagi mengenali kuliner yang sebenarnya jauh lebih sehat daripada fast food yang belakangan lebih populer dan digemari kalangan muda usia. Kekhawatiran Tatik terjawab melalui beberapa wawancara terhadap anak anak muda yang diajak mengenali sega ndoreng.
Advertisement
Perjuangan Mbah Lastri
Salah satunya adalah Dhira (20), mahasiswi kedokteran gigi di sebuah universitas Semarang. Ia yang lahir dan besar di Demak mengaku biasa menikmati makanan tersebut tapi tak tahu namanya. Sementara kawan-kawan lainnya mengatakan lebih familiar dengan nama-nama makanan modern.
Ttak ingin kuliner rakyat Demak ini makin terlupakan, maka Mbah Lastri (68) terus menjajakan sega ndoreng dari rumah ke rumah di Desa Karangsari, Kecamatan Karangtengah, Demak.
Ia bertekad tak akan mengubah menu jualannya sebab ingin menjadi salah satu mata rantai pelestari budaya.
"Ajrih mbokbilih lare nem mboten kenal Sega Ndoreng, mangke njur ngertose panganan bule sing burger burger nopo chicken chicken niku (Takut kalau anak-anak muda tidak kenal nasi Ndoreng, ngertinya malah makanan orang bule yang burger atau chicken)," tutur Mbah Lastri.
Berbekal semangat mengenalkan kuliner asli Nusantara kepada generasi muda, maka sebelum marak penyebaran virus Corona Mbah Lastri biasanya menggelar dagangan di sekolah-sekolah.
Tapi selama masa pandemi Covid-19 pembelajaran dilakukan secara daring, maka tubuh renta Mbah Lastri mau tak mau harus kuat berjalan keliling desa menjajakan dagangannya.