Liputan6.com, Jakarta - Pada tahun-tahun belakangan ini, para peretail telah melangkah ke peranan baru yang didesain untuk meningkatkan interaksi konsumen dan personalisasi.
Di Indonesia, di mana market e-commerce telah tumbuh dengan cepat, transaksi digital telah tumbuh lebih dari 52 persen, sebagian besar karena konsumen mendapati bahwa transaksi online itu sangat nyaman.
Advertisement
Oleh sebab itu, sejumlah brand yang beroperasi di Indonesia harus selalu mencari cara baru untuk memudahkan konsumen berbelanja kapan saja dan di mana saja.
Mereka mencari cara baru untuk meningkatkan interaksi, mulai dari layanan berlangganan untuk barang kemasan yang dikirim langsung di depan pintu, hingga kolaborasi yang mengundang konsumen untuk mempersonalisasi fashion statement mereka sendiri.
Sekarang, pada saat dunia tengah dilanda krisis, peretail dihadapkan dengan tantangan yang lebih besar. Walau pemerintah telah melonggarkan pembatasan kegiatan usaha di berbagai sektor termasuk retail, aktivitas belanja konsumen belum kembali normal, banyak toko retail yang masih tutup atau menghentikan pelayanannya sebagai dampak berkepanjangan dari krisis tersebut.
Pemulihan bisnis seperti semula tampaknya tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat. Akibatnya, semakin banyak produsen yang melangkahi distributor dan peretail untuk melakukan penjualan langsung atau directly to costumer (DTC) – sebagai poros layanan mereka untuk memperluas jangkauan, memastikan kelangsungan bisnis, dan memperkuat loyalitas konsumen, yang telah terbukti lebih penting dalam waktu yang penuh ketidakpastian ini.
Namun, bagaimana cara produsen mempertahankan model go-to-market yang baru ini agar berkelanjutan dan menguntungkan dalam jangka panjang?
Teknologi software adalah kunci. Tanpa infrastruktur dan fungsionalitas TI yang tepat, dapat dikatakan produsen sedang menghadapi tantangan yang berbiaya dan berisiko terlalu tinggi. Dan di saat-saat yang penuh ketidakpastian ini, pebisnis tidak boleh melewatkan atau keliru menangani peluang yang ada.
Sistem manual, teknologi usang dan pola pikir "sudah cukup baik" tidak cukup lagi, dan salah langkah dapat memicu kerusakan yang lebih besar pada brand dalam jangka panjang.
Berikut adalah beberapa masalah utama yang perlu diperhatikan oleh produsen dalam transisi ke model perdagangan baru, dan bagaimana software dapat membantu.
Bagaimana kita sampai di sini?
Inovasi di sisi operasional selama bertahun-tahun telah memungkinkan produsen untuk melakukan mekanisasi dan menyederhanakan model bisnis made-to-order yang sangat rumit.
Kemajuan dalam solusi software telah membuat proses produksi "batch of one" lebih mudah diakses, dengan modul yang agile, dapat disesuaikan (costumizable), dan mudah diprogram sehingga mengungguli siklus produksi massal yang masih tradisional.
E-commerce juga mempercepat popularitas model DTC. Raksasa global seperti Alibaba, Amazon (atau di tingkat regional seperti Lazada, Shopee dan Qoo10) telah merevolusi pengalaman retail dengan kenyamanan dan kecepatan yang telah dinikmati oleh konsumen - melalui Internet, smartphone, dan bahkan melalui home appliance yang pintar.
Platform ini juga telah mengintegrasikan e-marketplace seperti LazMall, ShopeeMall, dan JD Mall (di JD Central) dalam beberapa tahun terakhir sehingga mengakomodasi pertumbuhan penjualan DTC dengan lebih baik.
Pada 2019, lebih dari 1.700 brand produsen telah mendirikan toko resmi di platform-platform ini, menjual produk-produk mereka secara langsung ke konsumen melalui channel itu.
Jadi, bagaimana caranya produsen mengoptimalkan tren-tren ini?
Bagi kebanyakan produsen, itu semua adalah area baru yang menantang metode produksi massal tradisional yang sudah mereka ketahui sejak awal. Sedangkan kita berada di dalam tatanan dunia yang baru; salah satunya adalah dibutuhkan pemahaman yang komprehensif mengenai risiko dan hambatan yang ada.
Produsen harus agile dan beradaptasi dengan tren konsumen yang berubah di tengah masa yang penuh ketidakpastian. Untuk melakukannya, mereka perlu menggunakan teknologi yang menjadi poros operasional dan berinovasi secara terus menerus.
Pandemi mengajarkan kita bahwa teknologi akan terus menjadi pembeda utama yang memisahkan para pemenang dan mereka yang lamban mengadopsi fungsionalitas yang inovatif. Berikut ini adalah beberapa cara yang dapat membantu:
Relasi. Meningkatkan ekspektasi konsumen dapat membuka jalan bagi peluang baru jika perusahaan bersedia berkomitmen dengan sumber daya yang diperlukan seperti SDM, waktu, dan teknologi. Produsen yang unggul dalam membangun relasi dan connected network akan dapat membedakan diri mereka dari perusahaan lain.
Contohnya, mengadopsi sistem teknologi pintar seperti AI dapat membantu produsen menganalisis data konsumen dan menerjemahkannya menjadi insight yang dapat ditindaklanjuti dan pemahaman yang lebih dalam tentang perilaku konsumen, yang pada akhirnya membantu produsen membuat strategi penjualan dengan target yang lebih baik.
Konfigurasi. Konfigurasi produk adalah salah satu cara terpenting teknologi software dalam membantu produsen membangun pendekatan yang customer-centric.
Solusi Configure Price Quote (CPQ) dapat membantu pengguna memilih desain, seraya memastikan bahwa pilihan yang diambil masih dalam batasan teknis yang telah ditentukan sebelumnya. Kemudian, kutipan dan gambar Customer Aided Design (CAD) dibuat secara otomatis sehingga pelanggan dapat memvisualisasikan produk akhir.
Ini adalah penghemat waktu yang sangat besar bagi tim penjualan dan engineering, sehingga tak perlu mengulang spesifikasi dan kutipan secara manual untuk setiap pesanan khusus.
Product Lifecycle Management (PLM). Produsen juga dapat memanfaatkan solusi PLM untuk mengoptimalkan pengembangan produk baru – melakukan tracking terhadap tujuan, pencapaian, dan komunikasi di setiap tahap lifecycle produk secara keseluruhan.
Pencetakan 3D. Produsen yang sudah advance juga dapat memanfaatkan pencetakan 3D untuk produk yang sangat customizable. Industri fashion bahkan sudah memanfaatkan pencetakan 3D untuk komponen atau aksesori yang dipersonalisasikan dan dekoratif, fitur-fitur monogram, dan elemen yang khas.
Peralihan ke DTC juga memerlukan tanggung jawab. Secara tradisional, produsen biasanya mengandalkan distributor dan peretail untuk berurusan dengan konsumen – seperti menangani costumer service, menjaga inventori, memberikan saran, dan menawarkan pengalaman pembelian yang personal.
Dengan melangkahi perantara berarti produsen perlu bertindak dan mengambil peran ini. Namun, produsen sering tidak siap dan tak punya kemampuan seperti tak adanya call-center, departemen pengiriman yang dirancang untuk menangani pesanan-pesanan kecil dalam volume yang besar dan atau proses untuk menangani pengembalian barang dari konsumen yang kecewa.
Peralihan ke DTC sering kali membutuhkan perubahan sepenuhnya; bukan sekadar transformasi "terapkan lalu selesai".
Investasi yang layak dilakukan
Untuk produsen yang sudah begitu ramping, beralih ke DTC akan sangat membebani sumber daya mereka. Lebih buruk lagi adalah mencoba bertransisi setengah-setengah, yang hanya akan menjadi bumerang, merusak brand dan semakin mengasingkan distributor.
Namun, DTC menghadirkan model bisnis yang melangkahi perantara dan menawarkan kedekatan dengan konsumen dan loyalitas yang lebih besar pada brand – benar-benar sangat penting untuk bisnis di masa yang tidak pasti ini.
Pada akhirnya, produsen yang bersedia berinvestasi dalam teknologi selama masa downturn justru akan meraih manfaat yang lebih besar, bisnisnya mengalami rebound yang lebih kuat ketika ekonomi pulih. Dan siapa yang tidak menginginkan hal itu?
**Penulis adalah Fabio Tiviti, Senior Vice President & General Manager, ASEAN-India, Infor
Advertisement