Liputan6.com, Jakarta - Jemparingan atau tradisi panahan kuno dalam tradisi Mataram merupakan salah satu warisan budaya masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tak heran tradisi ini pun terus dipelihara dan dikembangkan Dinas Kebudayaan DIY.
Tujuannya tentu saja untuk memperkaya khasanah budaya DIY sendiri, yang pada ujungnya bisa menjadi daya tarik khusus para wisatawan yang datang ke Tanah Jogja.
Advertisement
Jemparingan punya aturan sendiri. Si pemanah harus mengenai bandul putih dengan warna merah di atasnya yang digantung dengan tali sebagai sasaran tembaknya. Ada bunyi lonceng yang menandai jika anak panah itu tertancap pada bandul tersebut.
Pemanah juga harus duduk dengan posisi bersila dengan jarak 30 meter dari sasaran, kemudian pemain harus menembakan anak panah ke bandul putih yang menggantung dengan panjang kira-kira 30 centimeter.
Biasanya, pemanah diberi kesempatan menembak dalam 20 rambahan (ronde), setiap rondenya ada empat anak panah.
Yang menarik, bahan-bahan untuk pembuatan busur dan anak panah yang digunakan dalam Jemparingan bukan sembarangan. Busur dan anak panah dibuat dari bambu khusus yaitu bambu petung.
Bambu petung hanya tumbuh di dataran tinggi dan harus didiamkan selama 4 tahun sebelum bisa digunakan sebagai busur dan anak panah. Selain itu juga kayu walikukun dan kayu jeruk nipis.