Liputan6.com, Batam - Pulau Belakang Padang merupakan salah satu bagian dari gugusan pulau terdepan di jalur lintas pelayaran internasional Selat Malaka yang memiliki 6 kelurahan. Wilayah ini merupakan perbatasan antara Indonesia, Singapura dan Malaysia. Di sana, terdapat 3 pulau terluar, yaitu Pulau Nipa, Pulau Pelamping, dan Pulau Batu Berhenti.
Pulau Belakang Padang dahulu masuk wilayah administratif Provinsi Riau, Kabupaten Kepulauan Riau yang pada 2004 resmi menjadi Provinsi Kepulauan Riau.
Advertisement
Jarak Pulau Belakang Padang dengan Singapura sekitar 12 mil dari lepas pantai. Ini terletak tepat di persimpangan antara Selat Malaka dengan Selat Singapura.
Tokoh Melayu asal Pulau Belakang Padang, Musa Bin Jantan (85 tahun) menceritakan, jika dari pulau ini cikal lahirnya Pulau Batam yang kini menjadi kota industri.
Kemudian pada 1957, Pulau Belakang Padang resmi menjadi sebuah kelurahan. Masuk dalam Kecamatan Tanjung Pinang, Kabupaten Kepulauan Riau dengan jumlah penduduk sekitar 30 Kepala Keluarga.
Kala itu, warga masih menggantungkan hidupnya kepada Negara Jiran. Sebagai daerah terdepan dan susah diakses masyarakat Riau daratan, kebutuhan hidup warga Pulau Belakang Padang bergantung pada hasil laut dan kebun yang dijual ke Singapura.
“Belakang Padang merupakan kecamatan yang kedua, dari Pulau Buluh pindah kecamatan ke Pulau Belakang padang pada tahun 1957 sebelum Indonesia merdeka masyarakat sudah ada di Pulau Buluh. Kemudian terus berkembang. Pasarnya berdiri, gedung nasionalnya berdiri,“ kenang Musa yang akrab disapa Pak Haji oleh masyarakat sekitar.
Musa menuturkan jika warga Belakang Padang kala itu tidak hanya satu etnis. Melayu dan Tionghoa hidup berbaur. Setelah Pulau Sambu dan Pulau Batam dibangun Pemerintah Indonesia era Presiden Soeharto, penduduk Belakang Padang berkembang.
Musa mengatakan hubungan emosional antara warga Belakang Padang dengan Singapura tetap terjalin. Kondisi tidak terpengaruh konflik kedua negara (masa Konfrontasi). Itu karena banyak keluarga warga Belakang Padang dulu juga banyak hidup di Singapura.
“Kehidupan kami tergantung pada Singapura. Pakaian, makanan karena hubungan kami dulu, dari Jakarta tak pernah dekat karena terbatas. Melalui Pekanbaru, Tanjung Pinang,“ jelas Musa.
Saat itu, harga hasil laut dan hasil kebun warga dijual 50 sen hingga 3 Dolar Singapura per keti (ukuran berat 750 gram per 1 keti ). Kerap barang itu ditukar dengan barang kebutuhan sehari –hari.
Rupiah Pertama
Di awal-awal, warga Pulau Belakang Padang belum familiar dengan mata uang Rupiah. Barulah di masa setelah masa konfrontasi, warga mengenal alat tukar atau mata uang yang dikeluarkan pemerintah Indonesia khusus Provinsi Riau.
Salah satunya yaitu mata Uang KRrp (Kepulauan Riau rupiah). Semenjak itu masyarakat belakang padang mengenal Rupiah dan kemudian KRrp beralih menjadi uang Rupiah.
Namun walaupun Rupiah resmi menjadi alat tukar di Belakang Padang dan pulau- pulau sekitarnya, pada tahun 1990-an, Dolar Singapura masih tetap beredar di kalangan masyarakat nelayan yang berada di pulau-pulau terpencil.
Ini diakui Wak Cuy Tokoh, masyarakat Tionghoa Belakang Padang asal kelahiran Pulau Buluh. Dia bercerita bagaimana kehidupan masyarakat Pulau Belakang Padang menggantungkan kebutuhan hidupnya kepada Singapura.
“Sejak kecil saya dibawa sama bapak membawa dan mengambil barang dagangan ke Singapura, terkadang ditukar dengan barang, terkadang dengan uang dolar,” tutur Wak Cuy.
Saat itu, nilai uang ringgit ataupun uang Dolar Singapura nilainya setara dengan Rupiah. Namun uang KR hanya berlaku sebentar, sekitar setahun hingga 1963.
“Satu KR setara dengan satu Dolar Singapura maupun Ringgit Malaysia. Namun setelah uang KRrupiah diganti dengan Uang Rupiah, dagangannya banyak rugi karena tidak sebanding nilainya," jelas Wak Cuy.
Camat Belakang Padang, Yudi Admajianto mengatakan jika Kecamatan Belakang Padang yang terdiri dari 3 kelurahan merupakan wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai wilayah Strategis Nasional Perbatasan.
Saat ini pertumbuhan penduduk Belakang Padang lebih pesat dibandingkan puluhan tahun lalu, pasca pengembangan Pulau Sambu sebagai pusat logistik kilang minyak dan pengembangan Pulau Batam sebagai Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas.
Ia mengaku di Era tahun 1990 awal sempat beredar uang asing khususnya Dolar di kalangan masyarakat. Uang ini ada di kepulauan yang aksesnya jauh dari darat.
Namun, Yudi mengatakan kesadaran warga Belakang Padang sekarang ini jauh berbeda dengan puluhan tahun lalu. Mereka sudah mengenal bahwa Rupiah melupakan simbol kedaulatan negara dan alat transaksi negara yang sah.
Warga di sebagian pulau yang penduduknya sedikit serta transportasi sulit terjangkau, memilih menyimpan uang tunai hingga Rp 20 juta sampai Rp 30 juta dari jerih parah menangkap ikan saat melaut. Perputaran ekonomi warga antara lain berasal dari hasil laut dan sektor pariwisata.
Menurut Yudi, perekonomian masyarakat di Pulau terus membaik. Sebab itu sebagai aparat pemerintah setempat, dia sudah mengusulkan kepada sejumlah Bank Daerah dan Bank nasional untuk membuka kantor cabang demi melayani masyarakat. Sebab hingga 2018, akses perbankan seperti ATM belum ada di wilayah ini.
“Bayangkan saja orang mau kesini tidak ada akses perbankan. Awalnya ada bank kemitraan koperasi dari Bank Danamon tahun 2012, setelah itu tahun 2019 mesin ATM BRI dan bank Riau kepri,” ungkap Yudi.
Walaupun di kalangan masyarakat belum mengenal transaksi keuangan non tunai, tetapi Pemerintah kota, Provinsi maupun Pusat sudah menggunakan uang digital atau transaksi nontunai.
Seperti pembayaran pegawai pemerintahan, BPND, BLT insentif RT/RW,Posyandu dan program pemerintah lainya seiring masuknya Bank Daerah yaitu Bank Riau Kepri.
“Seharusnya sebagai pulau terluar, Belakang Padang untuk akses perbankan setara dengan Batam. Saya berharap bersama masyarakat kecamatan Pulau Belakang Padang sebagai kawasan pulau terdepan di wilayah kesatuan NKRI menantikan kehadirannya Perbankan sebagai realisasi kehadiran negara, “ ungkapnya.
Advertisement
Belajar dari Pengalaman
Sementara itu Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kepulauan Riau, Musni Hardi K. Atmaja mengatakan Bank Indonesia (BI) Kepri mengaku terus mengenalkan Rupiah ke warga. Caranya melalui edukasi ke sekolah, lembaga pemerintah hingga melalui posko - posko edukasi yang dibuat BI di masyarakat.
”Tentunya ini dalam undang- undang, wajib menggunakan rupiah di NKRI. Itulah simbol kedaulatan negara kita sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka kita harus bangga menggunakan Rupiah sebagai bentuk pengakuan kita terhadap kedaulatan negara kita,” kata dia.
Musni mengingatkan bahwa Indonesia memiliki pengalaman terkait lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan beberapa waktu lalu. Ternyata salah satu penyebab karena warga setempat tidak menggunakan rupiah.
"Kita dorong agar masyarakat menggunakan Rupiah untuk bertransaksi di NKRI kalau bukan kita siapa lagi," jelas dia.
Musni menyatakan, penggunaan uang di Provinsi Kepulauan Riau masih banyak dilakukan tunai. Ke depan diharapkan masyarakat di Kepulauan Riau lebih banyak penggunaan uang elektronik
“Uang digital lebih baik supaya masyarakat dapat mengembangkan usaha lebih baik dan juga semakin dekat dengan perbankan,”ungkapnya.
Lebih lanjut Musni menjelaskan Pemerintah Indonesia sebenarnya mempunyai peraturan mengenai peedaran rupiah untuk transaksi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Dalam beleid menyebutkan, rupiah sebagai mata uang yang wajib digunakan dalam transaksi. Artinya, transaksi di mana pun, baik di perkotaan hingga daerah terpencil, mulai dari industri besar hingga industri kecil, wajib menggunakan rupiah dalam perputaran uang mereka.
Selain aturan tersebut, penggunaan rupiah juga sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012 mengenai Penetapan Tarif Layanan dengan Menggunakan Rupiah.
Terbaru, Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/2015 pada 31 Maret 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam aturan ini disebut bahwa siapapun individu yang berada di wilayah NKRI wajib menggunakan rupiah.
Transaksi dan pembayaran yang dilakukan wajib menggunakan rupiah. Bahkan, BI telah mengeluarkan Surat Edaran BI (SEBI) Nomor 17/11/DKSP tanggal 1 Juni yang di dalamnya juga berisi bahwa siapapun yang melanggar aturan ini, mereka bisa merasakan hukuman bui maksimal satu tahun. Aturan ini diharapkan bisa terus menekan dan mengingatkan siapapun agar menggunakan rupiah dalam setiap transaksi.(*)