Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah sedang merencanakan program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II. Terkait hal ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan bahwa tax amnesty memang sebaiknya tidak dilakukan terlalu sering.
"Prinsipnya pemerintah berkomitmen betul bahwa tax amnesty seyogyanya tidak diberikan terlalu sering," tutur Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, dalam webinar Infobank pada Kamis (3/6/2021).
Advertisement
Menurutnya, program relaksasi atau fasilitas yang diberikan sebaiknya diarahkan untuk mendorong peningkatan kepatuhan dalam membayar pajak secara sukarela. Hal itu, katanya, yang saat ini dirancang oleh Kemenkeu.
Kendati belum bisa mengungkapkan rincian soal tax amnesty, Yustinus mengatakan bahwa pada intinya pemerintah ingin fokus untuk meningkatkan kepatuhan pajak, bukan memberikan amnesty seperti 2016.
Ia pun memastikan program amnesti pajak ini akan menggunakan penegakan hukum yang benar-benar terukur.
"Intinya kita semua ingin fokus pada bagaimana peningkatan sukarela, bukan memberikan amnesty seperti 2016. Namun mendorong yang betul-betul ingin patuh tapi sekarng ini khawatir, gamang atau berat karena sanksi boleh difasilitasi, yang coba-coba tidak boleh difasilitasi karena kita sudah punya instrumen yang cukup efektif," jelas Yustinus.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
2 Skema Tax Amnesty Jilid II yang Diusulkan Sri Mulyani
Sebelumnya, pemerintah akan kembali menjalankan program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II di 2022. Program ini untuk mendorong kepatuhan wajib pajak (WP) skaligus menambah penerimaan negara.
Dari paparan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, terdapat dua skema pengampunan pajak. Pertama, pembayaran pajak penghasilan (PPh) dengan tarif lebih tinggi dari tarif tertinggi pengampunan pajak, atas pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya diungkapkan dalam tax amnesty jilid I.
Adapun jika berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, saat menggelar tax amesty lima tahun lalu pemerimtah mengatur tiga lapisan tarif tebusan berdasarkan peiode pelaksanaan program pengampunan pajak tersebut.
Periode I pada 1 Juli 2016 - 30 September 2016 dengan tarif tebusan 2 persen untuk deklarasi dalam negeri dan 4 persen untuk deklarasi luar negeri. Periode 2 yakni 1 Oktober 2016 - 31 Desember 2016 dengan tarif tebusan 3 persen untuk deklarasi dalam negeri dan 6 persen untuk deklarasi luar negeri.
Selanjutnya periode 3 yang dilaksanakan pada1 Januari 2017 - 31 Maret 2017 dengan tarif tebusan 5 persen untuk deklarasi dalam negeri dan 10 persen untuk deklarasi luar negeri. Artinya tarif program pengampunan pajak di tahun depan akan lebih dari 5 persen untuk deklarasi kekayaan dalam negeri, dan di atas 10 persen bagi harta yang diakui berada di luar negeri.
“Saya rasa saya akan skip untuk penerimaan pajak, mungkin akan dibahas di panja 1,” kata Sri Mulyani saat rapat bersama Banggar DPR RI, di Jakarta, Senin (31/5/2021).
Advertisement
Skema Kedua
Kedua, pembayaran PPh dengan tarif normal, atas pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan OP Tahun Pajak 2019. Adapun saat ini lapisan PPh OP tertinggi adalah sebesar 30 persen untuk penghasilan kena pajak lebih dari Rp500 juta per tahun. Kemudian pembayaran PPh dengan tarif normal atas pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT TahunanOP Tahun Pajak 2019.
Selain itu, wajib pajak juga akan diberikan tarif yang lebih rendah apabila harta yang dideklarasikan tersebut diinvestasikan dalam dalam Surat Berharga Negara (SBN).
Dalam paparannya yang disampaikan dalam Rapat Kerja Bersama Badan Anggaran (Banggar DPR RI) tersebut, pemerintah akan melakukan penguatan administrasi peprajakan dengan dua langkah.
Pertama dimungkinkan untuk menghentikan penuntutan tindak pidana perpajakan dengan pembayaran sanksi administrasi. “Pemberian kesempatan bagi wajib pajak untuk menghentikan proses hukum perpajakn dan upaya pemulihan pendapatan negara," tulis dokumen paparan.
Kemudian Kemenkeu akan melakukan kerjasama penagihan pajak dengan Negara mitra seperti pelaksanaan bantuan penagihan aktif kepada negara mitra maupun permintaan bantuan penagihan pajak kepada negara mitra secara resiprokal.