Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menunjuk konsultan hukum dan keuangan untuk memulai proses restrukturisasi utang PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA).
Dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR RI, Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo mengatakan akan segera melakukan moratorium pembayaran utang lantaran kewajiban perseroan tembus USD 4,5 miliar atau setara Rp 70 triliun.
Advertisement
Langkah tersebut merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kondisi keuangan Garuda Indonesiayang tertekan akibat hantaman pandemi COVID-19.
"Kementerian BUMN sudah menunjuk konsultan hukum dan keuangan untuk memulai proses restrukturisasi Garuda. Selain itu memang segera dilakukan moratorium utang atau standstill agreement [menghentikan sementara pembayaran bunga] dalam waktu dekat ini," kata Tiko, begitu panggilan akrabnya seperti ditulis, Jumat (4/6/2021).
Tiko menuturkan, utang perseroan telah melebihi batas normal keuangan Garuda Indonesia. Pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) Garuda Indonesia tidak mencapai USD 200 juta-USD 250 juta.
Adapun rasio utang yang aman adalah enam kali dari EBITDA tersebut, atau USD 1,5 miliar. Sementara utang GIAA telah menembus USD 4,5 miliar.
Oleh sebab itu, Tiko mengatakan Perseroan harus melakukan restrukturisasi untuk mengurangi beban utang tersebut. Dalam hal ini, Kementerian BUMN telah berkoordinasi dengan manajemen Garuda Indonesia, pemegang saham minoritas, hingga Kementerian Keuangan. Targetnya, utang tersebut bisa ditekan pada batas normal yakni USD 1 miliar sampai USD 1,5 miliar.
"Untuk melakukan restrukturisasi yang sifatnya fundamental, utang Garuda yang mencapai USD 4,5 miliar itu harus diturunkan di kisaran USD 1 - USD 1,5 miliar,” kata Tiko.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Asal Mula Utang Garuda Indonesia
Tiko membeberkan, penyebab tumpukan utang Garuda Indonesia adalah masalah masa lalu. Yakni biaya sewa pesawat (leasing) yang melebihi batas wajar. Selain itu, jumlah pesawat yang disewa terlalu banyak. Di saat bersamaan, banyak rute penerbangan Garuda Indonesia yang tidak menghasilkan keuntungan.
Dalam keadaan seperti itu, Garuda Indonesia harus menghadapi hantaman pandemi covid-19 yang membuat Perseroan makin ambruk. Padahal, Tiko mengatakan, bisnis penerbangan dalam negeri Garuda mencatatkan untung sebelum ada pandemi COVID-19, meski penerbangan luar negeri alami rugi.
Selain itu, muncul masalah baru yakni perubahan pengakuan kewajiban yang harus disampaikan dalam laporan keuangan sesuai dengan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Kewajiban harus dicatatkan sebagai utang, dari ketentuan sebelumnya sebagai biaya operasi atau operational expenditure (opex).
"Dengan demikian, utang Garuda yang tadinya sekitar Rp 20 triliun, bengkak jadi Rp 70 triliun,” kata Tiko.
Advertisement
Pascarestrukturisasi
Tiko mengatakan, apabila Garuda Indonesia bisa melakukan restrukturisasi secara massal dengan seluruh lender, lessor (penyewa pesawat), dan pemegang sukuk global, serta memangkas biaya (cost) yang diharapkan bisa menurun 50 persen atau lebih, Garuda bisa bertahan pascarestrukturisasi.
"Namun restrukturisasi ini butuh negosiasi dan proses hukum yang berat karena melibatkan banyak pihak, dan tentunya harapannya cost menurun, oleh karena itu mau tak mau cost structure dipotong lebih rendah,” kata dia.
Dalam sebulan Garuda Indonesia bisa merugi USD 100 juta. Kondisi tersebut disebabkan biaya operasional maskapai itu mencapai USD 150 juta, tetapi pendapatannya hanya USD 50 juta.
"Dalam sebulan cost Garuda USD 150 juta, sementara revenue USD 50 juta. Jadi setiap bulan rugi USD 100 juta, jadi memang sudah tidak mungkin dilanjutkan dalam kondisi sekarang ini," kata Tiko.