Liputan6.com, Jakarta - Keputusan pahit harus diambil Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang harus membatalkan keberangkatan jemaah haji ke Tanah Suci pada tahun 2021. Keputusan ini dianggapnya sebagai jalan terbaik untuk calon jemaah haji lantaran pandemi Covid-19 masih melanda dunia.
Plt Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) Khoirizi H. Dasir memastikan pembatalan jemaah haji ke Tanah Suci bukan karena persoalan merek Vaksin Sinovac yang digunakan masyarakat Indonesia.
Advertisement
"Tidak ada (karena vaksin). Pembatalan haji itu semata-mata untuk melindungi warga negara, menyelamatkan jemaah. Itu saja," kata Khoirizi kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (4/6/2021).
Pemerintah Arab Saudi sampai saat ini belum memasukkan vaksin Sinovac sebagai daftar vaksin Covid-19 yang diakui untuk calon jemaah haji.
Vaksin yang disetujui sebagai persyaratan calon haji dan umrah adalah vaksin yang sudah mendapat EUL (emergency use listing) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sementara, vaksin Sinovac masih belum masuk daftar tersebut.
Adapun empat vaksin yang sudah diperbolehkan digunakan calon jemaah haji yakni AstraZeneca, Pfizer, Johnson and Johnson dan Moderna.
Khoirizi juga menegaskan pembatalan keberangkatan jemaah haji Indonesia juga bukan karena tak mendapat quota. Sebab hingga saat ini pemerintah Arab Saudi belum memberikan informasi resmi tentang ibadah haji 2021.
"Jangankan Indonesia, dunia pun belum dapat kuota. Arab Saudi sendiri belum dapat kuota kok," kata dia.
Kementerian Agama, kata Khoirizi, terus menerus melobi Arab Saudi untuk memberikan quota kepada jemaah Indonesia. Namun hingga kini pemerintah Arab Saudi pun belum bisa memberikan jawaban.
"Mereka tidak memiliki jawaban. Kami belum mengeluarkan statemen resmi terkait penyelanggaraan haji 2021, itu jawabnya," ucap Khoirizi.
Sebelum memutuskan untuk membatalkan pemberangkatan jemaah haji, pemerintah telah melakukan serangkaian pembahasan, baik dalam bentuk rapat kerja, rapat dengar pendapat, maupun rapat panja haji dengan Komisi VIII DPR. Dia berharap pelaksanaan haji tahun 2021 tetap dilaksanakan.
Bahkan Kemenag sudah melakukan serangkaian persiapan, sekaligus merumuskan mitigasinya sejak Desember 2020. Berbagai skenario keberangkatan haji pun sudah disusun, mulai dari kuota normal hingga pembatasan kuota 50 persen, 30 persen 25 persen, sampai 5 persen.
Bersamaan dengan itu, persiapan penyelenggaraan dilakukan, baik di dalam dan luar negeri. Persiapan layanan dalam negeri, misalnya terkait kontrak penerbangan, pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih), penyiapan dokumen perjalanan, penyiapan petugas, dan pelaksanaan bimbingan manasik.
Demikian pula penyiapan layanan di Arab Saudi, baik akomodasi, konsumsi, maupun transportasi, termasuk juga skema penerapan protokol kesehatan haji, dan lainnya. Namun, semuanya baru bisa diselesaikan apabila besaran kuota haji sudah diterima dari Saudi.
Khoirizi menuturkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas sempat berkoordinasi secara virtual dengan Menteri Haji Arab Saudi saat itu, yakni Saleh Benten pada pertengahan Januari 2021 untuk mendiskusikan penyelenggaraan ibadah haji. Sebelumnya, Menag juga bertemu Duta Besar Arab Saudi Esam Abid Althagafi dan mendiskusikan penyelenggaraan ibadah haji.
"Semua upaya kita lakukan, meski faktanya, sampai 23 Syawwal 1442 H, Kerajaan Arab Saudi belum mengundang Pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani Nota Kesepahaman tentang Persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/2021 M," jelasnya.
Namun, pemerintah Arab Saudi belum juga memberikan kepastian terkait kuota untuk calon jemaah haji Indonesia. Padahal dengan 5 kuota persen dari kuota normal saja, setidaknya dibutuhkan waktu sekitar 45 hari untuk persiapan.
"Demi melakukan kajian lebih matang sembari berharap pandemi segera berakhir, Kemenag menunda hampir 10 hari untuk mengumumkan pembatalan. Tahun lalu, pembatalan diumumkan 10 Syawal, tahun ini kami lakukan pada 22 Syawal," ujar Khorizi.
Banyak Pertimbangan
Sementara Konsul KJRI Jeddah Arab Saudi Endang Jumali mengatakan ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia untuk membatalkan keberangkatan jemaah haji. Pertama, kata dia, masalah kesehatan para jemaah haji yang dikhawatirkan terpapar Covid-19. Kedua, hingga saat ini pemerintah Arab Saudi belum memberikan keputusan terkait quota.
"Bahwa masalah quota bukan hanya Indonesia tetapi seluruh negara belum ada satupun yang dapat quota," kata Endang kepada Liputan6update, Jumat (4/6/2021).
Kemudian, waktu yang terlalu mepet juga menjadi pertimbangan. Biasanya, kata dia, seluruh visa keberangkatan sudah dituntaskan di bulan Juni. Sementara hingga saat ini pelayanan visa belum dibuka.
"Operasional haji minimal 2 bulan dipersiapkan dan sekarang sudah bulan Juni. Sehingga kondisi yang sifatnya mepet, pelayanan tidak akan berhasil," ujar dia.
Ditambah lagi sejak 2020 pemerintah Arab Saudi telah menyebarkan surat ke misi haji untuk tidak melakukan kontrak apapun terkait layanan.
Dengan kondisi itu, kata Endang, keputusan pemerintah untuk menunda keberangkatan jemaah haji adalah tepat.
"Ini bukan negara kita satu-satunya yang menunda, Singapura sudah mengumumkan terlebih dahulu untuk menunda, Brunei Darusalam juga membatalkan," kata Endang.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Diplomasi Harus Terus Dilakukan
Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto mengaku memahami keputusan pemerintah untuk membatalkan keberangkatan jemaah haji. Sebab hingga kini belum ada kepastian dari pemerintah Arab Saudi. Meski begitu Yandri Susanto meminta pemerintah terus melobi pemerintah Arab Saudi agar memberikan quota umrah.
"Untuk menjawab kerinduan umat islam ke Tanah Suci itu salah satunya umrah," kata Yandri kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (4/6/2021).
Hingga saat ini, kata Yandri, penerbangan dari Indonesia ke Jeddah dan Madinah masih ditutup oleh pemerintah Arab Saudi. Untuk itu, dia berharap Presiden Joko Widodo melobi Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud agar membuka penerbangan.
"Kalau umrah kan bisa tiap hari tiap bulan tiap minggu beda sama haji, kalau haji kan harus hari yang telah ditentukan," kata dia.
Yandri juga menegaskan Pemerintah Arab Saudi tidak pernah mengeluarkan aturan larangan penggunaan vaksin Sinovac kepada calon jemaah haji.
"Saudi melarang vaksin ini vaksin itu enggak ada, tapi memang betul Saudi memakai dalam negeri Pfizer, Johnson and Johnson sama Adeneca dalam negeri mereka enggak ada kaitannya dengan haji," tandas Yandri.
Bendahara Umum Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), Tauhid mengatakan tidak benar bahwa pemerintah Arab Saudi melarang calon jemaah haji menggunakan vaksin Sinovac. Pernyataan tersebut tidak pernah diucapkan oleh otoritas Arab Saudi. Berita tersebut, kata dia, hanya berkembang di media sosial.
"Pemerintah Saudi tidak melarang datang yang memakai Sinovac, itu Saudi tak pernah keluarkan statmant bahwa dia tidak menerima suntikan Sinovac karena tak bersertifikat. Yang keluar itu hanya di medsos, bahaya sekali kalau berdasar medsos, jadi G to G-nya kurang," kata Tauhid kepada Liputan6.com.
Hingga kini, kata dia, Arab Saudi belum mengumumkan ada tidaknya kuota bagi Indonesia. Sebab saat ini masih dikaji oleh kementerian haji di sana. "Jadi belum bisa dikatakan nggak ada kuota buat Indonesia," ujar dia.
Dia menilai pemerintah Indonesia kurang berdiplomasi dengan Arab Saudi. Seharusnya, kata dia, pemerintah Indonesia bertanya soal kejelasan quota haji terlebih dahulu kepada Arab Saudi sebelum memutuskan membatalkan keberangkatan.
"Jadi mestinya tanya dulu ke Saudi, ada apa? Jangan kita wah kita batalkan saja karena Saudi belum jelas, kalau nanti Saudi memutuskan kalau ada kuota untuk kita kan malu pemerintah kita," ujar dia.
Dia yakin, pemerintah Indonesia mampu menyelenggarakan haji meski hanya memiliki waktu satu bulan untuk persiapan.
"Makanya kita mestinya nunggu, kita kan sudah menyelenggarakan haji selama 45 tahun masa sih tidak bisa menyelenggarakan satu bulan sebelumnya. Jadi harus siap, untuk apa ada mitigasi, pelatihan semuanya kalau tidak siap, kan repot juga," kata Tauhid.
Advertisement
Pastikan Berangkat Tahun 2022
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memastikan calon jemaah haji yang telah melunasi setoran untuk keberangatan tahun ini, bakal diberangkatkan tahun 2022.
"Jemaah haji baik reguler mau pun haji khusus yang sudah melunasi biaya haji BPIH 1441 H akan menjadi jemaah haji di tahun 1443 H atau 2022 masehi," kata Yaqut saat jumpa pers terkait pembatalan keberangkatan jemaah haji Indonesia tahun ini, Kamis (3/6/2021).
Namun demikian, Yaqut mempersilahkan bila ada calon jemaah haji yang ingin menarik uang yang telah disetorkan untuk keberangkatan tahun ini. Sementara, bagi calon jemaah yang tidak mengambil kembali setorannya, Yaqut memastikan dana yang bakal dipergunakan untuk tahun depan tersimpan aman.
"Setoran BPIH dapat diminta kembali, jadi uang jemaah aman dana haji aman dan bisa diambik kembali atau bisa tetap berada di BPKH untuk kita perhitungkan untuk pemberangakatan ibadah haji," jelas dia.
Pemerintah pun menyampaikan calon jemaah yang batal berangkat dapat mengajukan permohonan pengembalian setoran pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang telah dibayarkan.
"Meski diambil setoran pelunasannya, jemaah tidak kehilangan statusnya sebagai calon jemaah haji yang akan berangkat pada tahun 1443 H/2022 M," kata Sekretaris Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Ramadan Harisman.
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 660 tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1442 H, ada tujuh tahapan pengembalian setoran pelunasan Bipih. Berikut tahapannya:
1. Jemaah mengajukan permohonan pengembalian setoran pelunasan Bipih secara tertulis kepada Kepala Kantor Kementerian Agama (Kankemenag) kabupaten/Kota tempat mendaftar haji dengan menyertakan syarat berikut:
a. Bukti asli setoran lunas Bipih yang dikeluarkan oleh Bank Penerima Setoran (BPS) Bipih;
b. Fotokopi buku tabungan yang masih aktif atas nama Jemaah Haji dan memperlihatkan aslinya;
c. Fotokopi KTP dan memperlihatkan aslinya;
d. Nomor telepon yang bisa dihubungi.
2. Permohonan jemaah tersebut selanjutnya akan diverifikasi dan divalidasi oleh Kepala Seksi yang membidangi urusan Penyelenggaraan Haji dan Umrah pada Kankemenag kabupaten/kota. Jika dokumen dinyatakan lengkap dan sah, Kasi Haji akan melakukan input data pembatalan setoran pelunasan Bipih pada aplikasi Siskohat.
3. Kepala Kankemenag kabupaten/kota mengajukan permohonan pembatalan setoran pelunasan Bipih secara tertulis dan dikirimkan secara elektronik kepada Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri dengan tembusan kepada Kepala Kanwil Kemenag Provinsi.
4. Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri menerima surat pengajuan permohonan pembatalan setoran pelunasan Bipih dan melakukan konfirmasi pembatalan setoran pelunasan Jemaah Haji pada aplikasi SISKOHAT.
5. Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri atas nama Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah mengajukan permohonan pengembalian setoran pelunasan Bipih secara tertulis kepada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) c.q. Badan Pelaksana BPKH.
6. BPS Bipih setelah menerima Surat Perintah Membayar (SPM) dari BPKH, segera melakukan transfer dana pengembalian setoran lunas Bipih ke rekening Jemaah Haji dan melakukan konfirmasi transfer pengembalian setoran pelunasan pada aplikasi SISKOHAT
7. Jemaah menerima pengembalian setoran pelunasan melalui nomor rekening yang telah diajukan pada tahap pertama.
Kemenag mengatakan tahapan pengembalian setoran ini diperkirakan akan memakan waktu sembilan hari. Namun, Kemenag memastikan calon jemaah haji dapat menarik kembali setoran yang sudah dibayarkan.
"Dua hari di Kankemenag Kab/Kota. Tiga hari di Ditjen PHU. Dua hari di Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Dan, dua hari proses transfer dari Bank Penerima Setoran ke rekening jemaah," jelas Ramadan.