Liputan6.com, Jakarta Kementerian Agama (Kemenag) memutuskan untuk membatalkan keberangkatan calon jemaah haji 2021.
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dalam temu media mengatakan, pandemi Covid-19 di Saudi dapat mengancam keselamatan calon jemaah haji Indonesia. Alasan lainnya karena Pemerintah Arab Saudi belum membuka akses pelayanan ibadah haji tahun 1442 H/2021, dan pemerintah Indonesia butuh sedia waktu cukup untuk persiapan pelayanan jamaah haji.
Advertisement
Menanggapi hal ini, Direktur WHO Asia Tenggara tahun 2018-2020, Prof Tjandra Yoga Aditama menyampaikan bahwa sebelum kabar pembatalan ibadah haji menyebar, Ia sempat menanggapi terkait isu vaksin COVID-19 Sinovac yang belum bisa menjadi syarat umrah.
Tjandra mengatakan, ia tidak mengetahui apakah betul sudah ada pengumuman resmi dari pemerintah Arab Saudi tentang harus atau tidaknya calon jemaah mendapatkan vaksin.
“Kalaupun ada aturan vaksin, saya kira mereka bukan mempersoalkan Sinovac atau bukan Sinovac. Mungkin, yang mereka maksud adalah vaksin yang sudah mendapatkan Emergency Use of Listing (EUL) dari WHO,” katanya.
Jika memang patokan pemerintah Arab Saudi adalah vaksin yang telah mendapatkan EUL atau izin edar dari organisasi kesehatan dunia (WHO), maka hingga April yang sudah mendapatkan itu ada tiga, yakni Pfizer, AstraZeneca, dan Johnson & Johnson, kata Tjandra kepada Health Liputan6.com melalui pesan singkat, Jumat (4/6/2021).
"Untuk ibadah haji, perlu menunggu beberapa bulan ke depan apakah ada tambahan jenis vaksin yang mendapatkan EUL atau tidak," katanya April lalu.
Simak Video Berikut Ini
Setelah Sinovac dapat EUL
Beberapa hari lalu atau selang lebih kurang dua bulan setelah pernyataan Tjandra, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya mengeluarkan EUL atau izin penggunaan darurat untuk vaksin Sinovac dari China. Walau demikian, kabar dibatalkannya haji 2021 tetap beredar.
Tjandra juga menjawab pertanyaan terkait keluarnya EUL Sinovac yang memakan waktu lama. Menurutnya, EUL dibuat dengan cara yang tidak sederhana dan memang memerlukan proses panjang.
Perusahaan vaksin akan mendaftar dulu ke WHO untuk mendapat EUL kemudian dilakukan analisa ilmiah mendalam dari SAGE (Strategic Advisory Group of Expert) on Immunization, suatu badan independen yang membantu WHO dari sudut kepakaran ilmiahnya.
Jika sudah ada 'lampu hijau' dari SAGE, akan dianalisa lebih lanjut oleh WHO, dalam hal ini Department of Registration and Prequalification. Proses ini memang memakan waktu lama mengingat analisa harus dilakukan secara mendalam dan tak boleh asal-asalan, tutup Tjandra.
Advertisement