Liputan6.com, Palembang - Perjuangan warga Dusun Cawang Gumilir Desa Bumi Makmur Kecamatan Muara Lakitan Kabupaten Musi Rawas (Mura) Sumatera Selatan (Sumsel), tetap membara. Kendati mereka tergusur dari permukimannya sudah lima tahun terakhir, karena kebijakan PT Musi Hutan Persada (MHP).
Ratusan warga Cawang, yang kini tinggal berpencar di berbagai daerah, tetap memperjuangkan adanya skema Perhutanan Sosial (PS), untuk keberlangsungan hidupnya dan mendapatkan kembali haknya.
Saat ini, warga Dusun Cawang Musi Rawas hanya tercatat di administrasi saja. Tapi secara territorial, Dusun Cawang tersebut sudah tidak ada lagi. Dusun Cawang merupakan dusun ketujuh dari Desa Bumi Makmur Musi Rawas Sumsel.
Baca Juga
Advertisement
Dari data Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, PT MHP mendapatkan legalitas pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 38/Kpts-II/1996 tanggal 29 Januari 1996.
Perusahaan yang terafiliasi dengan PT. Marubeni Indonesia tersebut, melakukan aktivitas budidaya tanaman kayu akasia dan sejenisnya di lokasi seluas sekitar ± 296.400 hektar di Sumsel.
Hasil pertaniannya, digunakan untuk pemenuhan bahan baku pulp PT . Tanjung Enim Lestari (TEL). Dari ratusan ribu hektar lahan yang izinnya dikantongi PT MHP, ada banyak permukiman warga yang berada 252 desa di 10 kabupaten di Sumsel, yaitu Musi Rawas, Muratara, Muba, Empat Lawang, Muara Enim, PALI, Lahat, OKU, OKU Selatan dan OKU Timur Sumsel.
Diungkapkan Staff Walhi, Febrian Putra Sopa, dari bentangan lahan yang mendapat izin dari kementerian, banyak lahan yang tak terurus oleh perusahaan. Akhirnya ratusan Kepala Keluarga (KK) di sana, mengelola lahan tersebut dengan menanam jagung, singkong dan lainnya.
Di tahun 2015, saham PT MHP berpindahtangan dari Perhutani ke pengusaha Jepang. Sehingga mereka berbenah dalam pemetaan kawasan yang mendapatkan izin.
“Namun di awal bulan Juli 2015, terjadi konflik antara warga dan perusahaan. Karena perusahaan menggusur warga, yang terdiri dari warga lokal, transmigran hingga pendatang, yang tinggal di kawasan izin HTI PT. MHP,” ucapnya kepada Liputan6.com, Minggu (6/6/2021).
PT MHP bersama Dinas Kehutanan (Dishut) Mura, aparat hukum dan sekuriti perusahaan, menggusur kebun warga seluas ±120 hektare di awal konflik. Kendati mendapat perlawanan dari para warga di Musi Rawas tersebut, namun penggusuran lahan pertanian warga tetap dilakukan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini :
Warga Digusur
Di tanggal 14 Juli 2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengeluarkan surat, untuk menghentikan penggusuran tersebut. Namun di tanggal 15-17 Juli 2015, perusahaan tetap menggusur para warga.
“Di bulan September 2015, terjadi kebakaran di lahan PT. MHP seluas 28.323 hektare. Asap tebal pun menyelimuti desa-desa, termasuk Dusun Cawang Gumilir. Namun mereka tetap bertahan di rumahnya walau harus menghirup asap tebal. Itu pertahanan mereka, agar tidak digusur saat mereka mengungsi,” katanya
Instruksi dari Menteri LHK hanya ampuh menghentikan penggusuran hingga tanggal 16 Maret 2016 saja. Para warga masih bertani seperti biasanya, namun teror penggusuran terus mengancam, melalui publikasi media massa dan isu yang sengaja diedarkan.
Namun di awal bulan Februari 2016, Dishut Mura meminta warga Cawang mengosongkan rumahnya karena akan digusur. Keputusan tersebut bertentangan dengan surat Menteri LHK. Di tanggal 17 Maret 2016, PT. MHP, Dishut, aparat hukum dan Tim Terpadu Pengembalian Kawasan Hutan Konservasi 2016 di Mura, langsung menggusur lahan pertanian warga.
Bahkan di tanggal 18 Maret 2016, tim terpadu tersebut memasang pengumuman yang ditempelkan di dinding-dinding rumah penduduk, yang bertulis ‘Pembongkaran Bangunan Paling Lambat Tanggal 28 Maret 2016’.
Para warga pun berangsur tergusur, per tanggal 17-25 Maret 2016. Tempat tinggal, sumber air dan sumber pangan, sekolah hingga Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dibangun oleh Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal (PDT) pada tahun 2013, di Dusun Cawang Gumilir juga digusur.
Advertisement
Kendala Perhutanan Sosial
“Warga harus mengambil sumber air berjarak hingga 300 meter dari tempat tinggalnya. Di tanggal 18 Maret 2016, PT. MHP menanam ekaliptus di lahan yang mereka gusur. Padahal alasan penggusuran untuk konservasi,” ungkapnya.
Walhi Sumsel bersama warga yang tergusur di kawasan HTI PT.MHP, meminta janji politik Presiden Joko Widodo, agar bisa diimplementasikan resolusi penyelesaian konflik yang terjadi.
Salah satunya dengan mewujudkan target PS. Di mana, pemberian akses yang memperhatikan daya dukung dan daya tampung, serta pemulihan lingkungan berbasis masyarakat.
“Skema PS ada untuk penyelesaian konflik. Tapi PS tidak bisa diusulkan, jika tempat penghidupan warga masih ada di dalam izin PT MHP. Konflik itu menorehkan trauma mendalam ke masyarakat, terutama kelompok perempuan di Dusun Cawang Gumilir. Sekitar 200 orang terpaksa mengungsi ke Desa Bumi Makmur, Pendopo dan beberapa wilayah lainnya,” ungkapnya.
Tidak hanya kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Banyak anak-anak yang harus putus sekolah, ada yang meninggal dunia karena depresi usai digusur, hingga kasus perceraian pun tak terelakkan.
Kini, para warga Dusun Cawang Gumilir, harus bertahan hidup dengan menumpang di rumah masyarakat Desa Bumi Makmur. Untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka beralih profesi, dari pemilik pertanian menjadi buruh tani sadap karet dan lainnya.
Tak Libatkan Warga
Di tengah ketidakpastian tinggal secara menumpang, mereka tetap menunggu kebijakan negara, untuk memulihkan hak mereka.
Didampingi Walhi Sumsel, ratusan kepala keluarga yang tergusur, lanjut Febri, sudah mengusulkan PS 2018 ke KLHK sejak tahun 2018. Padahal PT MHP ditunjuk menjadi pilot project penyelesaian konflik dengan skema PS di Sumsel.
“Walhi Sumsel mengusulkan PS di tahun 2018 ke KLHK. Dengan total 37.302 hektare, yang dikeluarkan dari izin PT.MHP. Tapi sembari menunggu perubahan Adendum, PT MHP hanya mengeluarkan lahan seluas 6.032 hektare dari yang kita usulkan. Yaitu hanya 8 desa dari total 11 desa yang kami usulkan. Itu juga tidak melibatkan Walhi Sumsel dan warga yang terdampak,” katanya.
Kasus lainnya adalah, dari 8 desa yang sudah keluar dari izin lahan HTI PT.MHP, baru ada 1 desa yang mendapatkan SK Hutan Kemasyarakatan (HKM), yaitu Desa Banuayu Kecamatan Vetran Jaya OKU Timur Sumsel.
Kendati sudah dapat SK tersebut, tapi lahannya masih berisi tanaman ekaliptus PT.MHP, sehingga warga belum bisa mengelola. Di tahun 2019, Gubernur Sumsel Herman Deru juga sudah menyurati KLHK untuk menyelesaikan konflik ini, tapi belum ada respon lagi.
“Padahal kita sudah membuat skema pengelolaan PS, seperti ladang lindung dan budidaya, untuk menjadi PS percontohan,” ucapnya.
Advertisement