Liputan6.com, Jakarta Agar iklim bisnis dapat tumbuh berkelanjutan, para pemimpin multinational company lebih waspada dan segera melakukan transformasi agar bertahan, melihat banyaknya perusahaan yang hampir tutup karena disrupsi teknologi digital.
Direktur Utama BRI, Sunarso mengatakan bahwa diperlukan pemimpin yang transformatif agar perusahaan dapat merespon tantangan akibat disrupsi digital di tengah pandemi Covid-19 yang telah mengubah lanskap berbagai bisnis model.
Advertisement
Hal itu disampaikannya dalam Leadership Seminar bertema Leader’s Transformation in The Digital Era: Digital Leadership yang digelar Bank Indonesia Institute, Kamis (3/6).
Sunarso mengungkapkan teknologi digital memang disruptor yang luar biasa dan umur rata-rata perusahaan dunia saat ini telah menurun secara signifikan. Berdasarkan data S&P 500, rata-rata umur perusahaan diperkirakan pada 2025 hanya berkisar 12 tahun hingga 15 tahun. Bahkan, perusahaan yang termasuk dalam Indeks S&P 500 sudah berkurang setengah sejak 1960
Untuk itu, Sunarso berharap para pemimpin lebih waspada dalam menghadapi tantangan digital ekonomi. Jangan sampai perusahaan yang sudah lama justru ikut masuk dalam jeratan perubahan digital ekonomi saat ini.
"Dulu, perubahan itu terjadi perlahan, yakni 10 tahun bahkan 20 tahun. Saat ini, perubahan terjadi lima tahun, tiga tahun, atau satu tahun. Pemimpin harus aware jangan sampai perusahaan mati perlahan. Bahkan, jangan sampai mati segera,” jelas Sunarso saat mengikuti acara yang dibuka dengan sambutan dari Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo dan dihadiri oleh Komisaris Utama PT Bank Jago Tbk, Jerry Ng.
Untuk merespon berbagai tantangan itu tentu dibutuhkan pemimpin yang transformatif (digital leader) yang mampu mengikuti perubahan zaman, dengan beberapa kriteria atau gaya kepempimpinan. Di antaranya yakni strategic dan disruptive, bold, courageous dan hungry, customer obsessed, drive the digital conversation, global mindset hingga mampu empowering dan inspiring.
Sunarso menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan di era digital itu lebih kontekstual daripada sentral maupun upaya-upaya untuk membangun kultus individu. Maksudnya, kepemimpinan itu ditulis oleh sistem bukan oleh sinten (orang per orang).
Penyesuaian Strategi Agar Adaptif dan Lincah
Akibat disrupsi teknologi digital, program atau rencana bisnis lima tahunan yang disusun oleh perusahaan dapat berubah di tengah jalan. Bahkan di tengah Covid-19, perusahaan mengubah bisnis model agar tetap relevan dengan kondisi dan perubahan digital yang berlangsung dengan cepat.
Menurut Sunarso ada hal yang lebih penting dari itu semua, yaitu corporate plan sebagai ruang yang cukup agile untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian. Itu karena lingkungan berubah sedemikian cepat. Jadi agility to change.
Sunarso mencontohkan ketika menyusun corporate plan BRI sampai 2022, BRI harus menyesuaikan strateginya pada 2020 karena pandemi dan tahun ini di-review lagi. Tapi yang lebih penting dari itu adalah menyediakan ruang untuk revisi dan penyesuaian-penyesuaian. Supaya adaptif dan lincah.
Digitalisasi memerankan peran penting dalam perubahan bisnis iklim bisnis akhir-akhir ini. Perusahaan di era dulu yang mampu bertahan hanya dengan kekuatan modal. Namun, perusahaan saat ini justru mengandalkan big data, membuat aplikasi dan membentuk ekosistem.
"Jadi terminologi trickle down economy sudah kurang relevan. Yang ada massive progresion, yakni pelaku mikro berjejaring dan membentuk market super power," imbuhnya.
Lebih lanjut, Sunarso mengakui emiten berkode BBRI ini pun sangat aktif melakukan hal transformasi digital. Perseroan melakukan peningkatan kapasitas dan kualitas teknologi informasi. Perseroan memiliki alokasi capital expenditure yang tidak murah untuk meningkatkan potensi digital ini.
Adapun, Sunarso mengatakan tranformasi digital sejauh ini sudah banyak memberi manfaat pada BRI baik dari sisi efisiensi operasional maupun peningkatan pendapatan dari bisnis baru. Dia mencontohkan Agen BRILink BRI saat ini sudah mencapai lebih dari 500.000 agen, naik pesat dari posisi 2015 yang hanya 50.000 agen.
Volume transaksi pun melesat, naik ke Rp673 triliun pada 2019 dari posisi 2015 sekitar Rp35 triliun. Bahkan pada periode pandemi tahun lalu volume transaksi agen BRILink mencapai lebih dari Rp800 triliun.
"Kami pun mendapat fee Rp788 miliar pada 2019, dan naik menjadi Rp1,2 triliun pada tahun lalu. Dan jangan lupa ini adalah sharing ekonomi, masyarakat kami perkirakan bisa dapat fee sampai Rp3 triliun," katanya.
Dalam transformasi digitalnya, BRI mengembangkan aplikasi BRISPOT untuk memudahkan bisnis proses dan mempercepat proses kredit mikro. Berkat aplikasi ini, BRI mencatat peningkatan produktivitas booking kredit mikro, dari rerata Rp2,5 triliun per bulan (sebelum pakai BRISPOT) naik menjadi minimal Rp4 triliun per bulan.
Proses kredit mikro BRI pun sudah menjadi lebih cepat, dari semula dua minggu, menjadi dua hari saja dan ternyata overshoot, sekarang sudah bisa dua jam prosesnya. Di samping itu, BRI melakukan perubahan kultur di sisi sumber daya manusia.
Bagaimana pun kultur digital dari SDM yang mampu membuat transformasi digital menjadi lebih berkelanjutan dan optimal dalam meningkatkan kinerja perusahaan.
Kendati demikian, Sunarso mengklaim transformasi digital yang dilakukan BRI tak serta membuat BRI menjadi digital banking. Perseroan lebih memilih menjadi hybrid bank yang lebih seimbang dalam mengikuti adopsi digital masyarakat.
"Kami ini bank rakyat. Rakyat belum semuanya digital. Tapi kami juga tidak lamban dalam bertansformasi," tutupnya.
(*)
Advertisement