Produk HPTL Jadi Solusi Tanggulangi Masalah Rokok di Indonesia?

Pemanfaatan produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL), dinilai bisa membantu pemerintah dalam menanggulangi permasalahan merokok di Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Jun 2021, 13:28 WIB
Seorang pria menggunakan vape atau rokok elektronik di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Selasa (12/11/2019). Pemerintah melalui BPOM mengusulkan pelarangan penggunaan rokok elektrik dan vape di Indonesia, salah satu usulannya melalui revisi PP Nomor 109 Tahun 2012. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pemanfaatan produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL), seperti vape, tembakau yang dipanaskan, snus dan kantong nikotin, diyakini bisa membantu pemerintah dalam menanggulangi permasalahan merokok di Indonesia yang mengkhawatirkan.

Produk hasil dari pengembangan inovasi serta teknologi ini memiliki profil risiko yang lebih rendah hingga 90 persen-95 persen dibandingkan dengan rokok

Ketua Umum Aliansi Pengusaha Penghantar Nikotin Elektronik Indonesia (APPNINDO), Roy Lefrans, menyatakan ada dua faktor yang dapat menjadi alasan produk HPTL bisa berkontribusi dalam menciptakan perbaikan kesehatan publik sehingga tidak membebani negara.

“Pertama karena ada kajian ilmiah,” kata Roy seperti dikutip Senin (7/6/2021).

Roy melanjutkan sudah banyak kajian ilmiah yang dilakukan baik di dalam maupun luar negeri mengenai produk HPTL, seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan.

Salah satunya riset yang dilakukan badan eksekutif dari Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, Public Health England, yang berjudul Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Product 2018 yang menyatakan bahwa profil risiko produk HPTL 95 persen lebih rendah daripada rokok. Selain itu, sejumlah akademisi dari berbagai universitas di Indonesia juga telah meneliti produk tersebut lebih lanjut.

 “Pada HPTL tidak ada pembakaran sedangkan di rokok kan harus dibakar, itulah mengapa HPTL tidak mengandung TAR. Karena pembakaran itulah yang menghasilkan zat-zat berbahaya,” ujarnya. 

Karena telah terbukti secara kajian ilmiah memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok, Inggris, Jepang, dan Selandia Baru mendukung penggunaan produk HPTL.

Penggunaan produk tersebut di Inggris telah mendorong 20.000 perokok berhenti merokok setiap tahunnya. Badan statistik Inggris melaporkan angka perokok mengalami penurunan dari 14,4 persen pada 2018 lalu menjadi 14,1 persen atau setara dengan 6,9 juta perokok pada 2019. 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Angka Perokok

Seorang pelanggan mempersiapkan rokok elektrik di sebuah toko vape di Manila (20/11/2019). Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengumumkan akan melarang penggunaan e-rokok dan memerintahkan polisi untuk menangkap orang-orang yang merokok e-rokok di depan umum. (AFP Photo/Dante Diosina Jr)

Berdasarkan hasil survei Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang, angka perokok pria turun di bawah 30 persen untuk pertama kalinya menjadi 28,8 persen pada 2019.

Angka perokok perempuan turut berkurang 0,7 poin menjadi 8,8 persen pada 2019. Sedangkan menurut laporan Kementerian kesehatan Selandia Baru, angka perokok pada 2011/2012 sebesar 16,3 persen persen tercatat turun menjadi 14,2 persen pada 2015/2016. Angka tersebut kembali turun menjadi 12,5 persen pada 2018/2019. 

“Selandia Baru punya program bebas asap rokok 2025. Untuk mendukung program itu, HPTL jadi salah satu solusi. Ini kan bagus banget ya,” ujar Roy. 

Adapun faktor kedua setelah kajian ilmiah, menurut Roy, adalah pengakuan dari pengguna mengenai kesehatannya sejak menggunakan produk HPTL.

“Banyak yang testimoni memperoleh manfaat setelah pindah ke HPTL dan tidak merokok lagi, bagaimana keluarganya happy rumah nggak bau rokok, nggak ada abu. Manfaatnya bagi pengguna sangat positif,” ujarnya. 

Seperti diketahui, per 2017 lalu, Kementerian Kesehatan mencatat pemerintah harus menggelontorkan dana hingga Rp 5,9 triliun melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan lewat untuk menanggulangi lebih dari 5 juta kasus penyakit yang diakibatkan oleh rokok.

Selain itu, kerugian akibat orang produktif yang menjadi tidak produktif karena sakit akibat rokok mencapai Rp 4.180,27 triliun, setara dengan seperlima dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya