Liputan6.com, Jakarta - Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai utang pemerintah yang mencapai Rp 6.527,29 triliun sudah berada dalam kategori 'lampu merah'. Hal ini dilihat berdasarkan risiko dari utang tersebut.
Menurut Bhima, terdapat beberapa cara untuk melihat risiko utang. Pertama, kemampuan membayar utang pemerintah dilihat dari perbandingan antara beban bunga utang dibagi dengan penerimaan pajak. Berdasarkan data APBN 2021, rasio antara beban bunga utang sudah mencapai 25 persen dari target penerimaan pajak.
Advertisement
"Ini menandakan porsi bunga utang sudah terlampau membebani anggaran. Apalagi ditengah rasio pajak yang terus menurun diperkirakan hanya 8-8,1 persen pada 2021. Tentu ini sudah lampu merah harusnya," kata Bhima kepada Liputan6.com pada Selasa (8/6/2021).
Kedua, kemampuan membayar utang luar negeri bisa dilihat dari indikator Debt Service Ratio atau DSR. Rasio ini untuk mengukur porsi utang luar negeri terhadap sumber-sumber penerimaan valas.
Tercatat dari data BI, DSR per data Mei 2021 meningkat menjadi 23,5 persen lebih tinggi dibandingkan posisi 2014 yakni 18,3 persen. Dalam kurun waktu 8 tahun terakhir terjadi ketidaseimbangan antara kemampuan penerbitan utang luar negeri baru dengan penerimaan dari sisi ekspor, dan devisa lainnya.
Ketiga, kata Bhima, kekhawatiran risiko penerbitan utang sejalan dengan adanya taper tantrum dalam waktu dekat. Taper tantrum membuat investor melepaskan kepemilikan surat utang negara berkembang dan memilih aset yang aman.
"Kondisi 2013 bisa terjadi dan membuat pemerintah semakin sulit menerbitkan surat utang ke pasar," tuturnya.
Keempat, ekses penerbitan surat utang dapat menyebabkan crowding out effect. Investasi swasta ke sektor riil dapat terganggu karena imbal hasil yang ditawarkan surat utang pemerintah lebih menarik dibandingkan berinvestasi secara riil.
"Soal rasio utang pemerintah, perkiraan saya sebentar lagi akan menembus level 60 persen dari PDB kalau situasi penerbitan utang terus berlanjut," jelas Bhima.
Hal yang ditakutkan, menurut Bhima, adalah pemerintah akan kembali merevisi UU Keuangan 2003 dengan melebarkan batas rasio utang 60 persen dari PDB yang selama ini dijadikan rambu risiko utang.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Utang Pemerintah Tembus Rp 6.527,29 Triliun per April 2021
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah hingga April 2021 berada di angka Rp6.527,29 triliun. Posisi utang ini setara dengan 41,18 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Dikutip dari Buku APBN Kita edisi Mei 2021, utang pemerintah ini masih didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 86,74 persen dan pinjaman sebesar 13,26 persen.
Secara rinci, utang dari SBN tercatat Rp5.661,54 triliun yang terdiri dari SBN domestik Rp4.392,96 triliun dan valas Rp1.268,58 triliun.
Sedangkan utang melalui pinjaman tercatat Rp865,74 triliun. Pinjaman ini terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp12,32 triliun dan pinjaman luar negeri Rp853,42 triliun.
Adapun utang dari pinjaman luar negeri ini terdiri dari pinjaman bilateral Rp328,59 triliun, pinjaman multilateral Rp480,81 triliun dan pinjaman dari commercial banks Rp44,02 triliun.
Advertisement