Singapura dan Malaysia Akui ASEAN Lambat Tangani Isu Kudeta di Myanmar

Para menteri luar negeri negara ASEAN yang menanggapi kriris di Myanmar mengakui adanya kelambatan dalam meredakan masalah tersebut.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 08 Jun 2021, 13:52 WIB
Seorang pengunjuk rasa memegang poster dengan gambar pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi (kanan) yang ditahan dan presiden Win Myint saat demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar pada Sabtu (6/2/2021). Ribuan orang turun ke jalan-jalan untuk melawan kudeta. (YE AUNG THU / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Para menteri luar negeri negara-negara ASEAN yang menengahi krisis di Myanmar meminta para pejabat militer membebaskan tahanan dan memulai dialog politik yang disepakati.

Para menteri itu juga mengungkapkan kekecewaan mereka atas proses yang "sangat lambat" dalam menangani krisis kudeta di Myanmar sejauh ini.

Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan, mengatakan bahwa upaya diplomatik Asean "hanya masuk akal jika ada keinginan tulus di Myanmar sendiri untuk dialog dan negosiasi serta rekonsiliasi yang tulus".

"Sejujurnya, kami kecewa dengan kemajuan yang lambat – sangat, sangat lambat,"  kata Balakrishnan kepada media Singapura melalui panggilan telepon dari Chongqing, China, seperti dikutip dari AsiaOne, Selasa (8/6/2021).

Diketahui bahwa para menteri luar negeri negara-negara ASEAN melakukan pertemuan dengan rekan China mereka pada Senin (7/6).

"Indonesia sangat berharap bahwa implementasi lima poin konsensus perlu didorong setelah pertemuan ini dengan, sekali lagi, proses yang transparan," kata Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi dalam konferensi pers.

Menteri Luar Negeri Malaysia, Hishammuddin Hussein juga menyampaikan bahwa ASEAN harus mengakui bahwa kemajuan dalam konsensus itu "sangat lambat".

"Komunitas internasional sedang menunggu tindakan Asean lebih lanjut," katanya di Twitter.

Dalam sambutan yang dibacakan pada pertemuan tersebut, Hishammuddin menyerukan agar ASEAN "bertindak lebih cepat untuk mengurangi ketegangan dan menghentikan kekerasan".


Militer Myanmar Tak Beri Banyak Respons

Polisi menangkap seorang pria saat pengunjuk rasa ikut serta dalam unjuk rasa menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, Sabtu (27/2/2021). Negara itu diguncang gelombang protes pro-demokrasi sejak kudeta militer Myanmar menggulingkan kekuasaan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari. (Ye Aung THU/AFP)

Junta militer di Myanmar telah menunjukkan sedikit respons dalam mengindahkan konsensus yang dicapai pada April 2021 di antara 10 negara ASEAN, termasuk Myanmar, yang menyerukan diakhirinya kekerasan, pembicaraan politik, serta penunjukan utusan khusus regional.

Junta militer di Myanmar telah berupaya mengendalikan situasi sejak melancarkan kudeta terhadap pemimpin sipil Aung San Suu Kyi, yang memicu gelombang kemarahan, protes serta pemogokan, dan upaya untuk membangun aliansi nasional untuk menggagalkan upaya militer untuk mengkonsolidasikan kekuasaan.

Aung San Suu Kyi (75) akan menghadiri sidang pekan depan dalam beberapa kasus pidana pertama yang dihadapinya.

Hal itu disampaikan oleh pengacara Aung San Suu Kyi, yang bertemu dengannya pada Senin (7/6) untuk sidang pengadilan.

Tuduhan yang dihadapi Aung San Suu Kti termasuk kepemilikan radio dua arah secara ilegal, pelanggaran protokol COVID-19, dan penyuapan.

Aung San Suu Kyi juga didakwa secara terpisah atas pelanggaran Undang-Undang Rahasia Resmi, yang dapat menghadapi hukuman hingga 14 tahun penjara.

 


Infografis Penangkapan Aung San Suu Kyi dan Kudeta Militer Myanmar

Infografis Penangkapan Aung San Suu Kyi dan Kudeta Militer Myanmar. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya