Ini Penyebab Keuangan Garuda Indonesia Memburuk hingga Terlilit Utang Rp 70 T

Pengamat BUMN membeberkan penyebab keuangan PT Garuda Indonesia terus memburuk dalam beberapa bulan belakangan.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Jun 2021, 16:50 WIB
Garuda Indonesia kembali meluncurkan pesawat bermasker bermotif batik Tambal khas dari Yogyakarta (dok: Humas)
Garuda Indonesia kembali meluncurkan pesawat bermasker bermotif batik Tambal khas dari Yogyakarta (dok: Humas)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Toto Pranoto membeberkan penyebab keuangan PT Garuda Indonesia terus memburuk dalam beberapa bulan belakangan. Bahkan, kini keuangan maskapai pelat merah tersebut mengalami tekanan yang luar biasa dengan adanya penumpukan utang hingga mencapai Rp 70 triliun.

Toto menjelaskan, keuangan Garuda Indonesia sebelum dan sesudah pandemi masuk ke Indonesia. Sebelum ada Covid-19, keuangan Garuda Indonesia masih bisa menghasilkan revenue. Sementara setelah ada Covid-19, revenue ada tapi terus merosot.

"Dari laporan keuangan Garuda yang ada di kuartal III-2019 dan kuartal III-2020, setelah dan sebelum Covid masuk. Revenue saja, 9 bulan 2019 mereka masih bisa menggenerate USD3,5 billion. Kemudian 9 bulan 2020 hanya bisa generate USD1,1 billion sehingga revenue mereka turun hampir 67 persen," kata Toto dalam diskusi online, Jakarta, Selasa (8/6).

Pengeluaran dan biaya operasional mengalami penurunan selama pandemi. Di mana pada tahun lalu, Toto mencatat angka pengeluaran dan biaya operasional turun hampir mencapai 31 persen.

"Problemnya, cost structure mereka di 3 bulan pertama 2019 capai USD3,2 billion tahun lalu angkanya turun juga di 3 bulan pergama 2020 menjadi USD2,2 billion. Jadi cost structurenya turun 31 persen, sementara revenue turun anjlok 67 persen. Ini yang menyebabkan tekanan kepada keuangan Garuda Indonesia luar biasa besarnya," paparnya.

Adapun cost structure paling besar untuk membiayai leasing pesawat sebesar 75 persen. Sisanya kemudian, terdiri dari utang jangka pendek dan jangka panjang. Dengan demikian, keputusan melakukan negosiasi dengan lessor dinilai menjadi pilihan tepat.

"Kalau kita ihat, sumbangan yang paling besar cost structure biaya Garuda Indonesia adalah short term debt, factoring liabilities. Itu adalah short term debt atau utang jangka pendek, utang jangka panjang dan leasing pesawat 75 persen," jelasnya.

"Sehingga langkah Garuda Indonesia dan KemenBUMN melakukan negosisasi dengan lessor pesawat, saya kira memang yang utama karena bebannya ke keuangan garuda sangat besar," tandasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Terlilit Utang Rp 70 Triliun, Garuda Indonesia Masih Bisa Selamat?

Desain masker baru pesawat Garuda Indonesia pada armada B737-800 NG (dok: GIA)

Maskapai nasional Garuda Indonesia tengah berada dalam kondisi kritis. Perseroan diketahui memiliki utang mencapai Rp 70 triliun atau sekitar USD 4,5 miliar dollar AS.

Restrukturisasi menjadi pilihan untuk menyelamatkan BUMN ini. Dalam kondisi sulit, seluruh karyawan Garuda Indonesia dinilai harus memiliki pola pikir mandiri yang kompetitif.

Menurut pengamat penerbangan California State University Fresno Hendra Soemanto, pola pikir atau mindset dari para people management internal Garuda Indonesia harus ikut bertransformasi, bukan hanya perusahaan secara keseluruhan.

"Selama ini, telah terpola dalam mindset mayoritas karyawan BUMN bahkan level top management bahwa pemerintah, sebagai pemegang saham terbesar perusahaan akan menyelamatkan perusahaan dengan kebijakan dan hal ini sedikit banyak memengaruhi budaya dan iklim kerja. Pola pikir tersebut menghasilkan SDM yang manja dan cenderung berada di comfort zone dalam waktu lama," ujar Hendra dalam keterangannya kepada Liputan6.com, Senin (7/6/2021).

Lanjut Hendra, sudah saatnya Garuda Indonesia memikirkan sistem atau model manajemen yang strategis dan lebih ideal dengan pemimpin yang mampu memotivasi semua karyawan untuk berkompetisi dan berpikir inovatif.

Harapan ke depannya, Garuda Indonesia dapat memperbaiki kinerja dan semua proses kegiatan perusahaan, yang di dalamnya terdapat insan dengan integritas tinggi, produktif dan komersial untuk menghasilkan kinerja yang sempurna, yang sejalan dengan perkembangan teknologi dan industri.

Hendra juga berpendapat, insan Garuda Indonesia harus membangun sense of crisis, karena siapapun pemimpin kedepannya nanti, sehebat apapun langkah-langkah strategis untuk pemulihan disusun, tidak akan sukses dengan tidak adanya dukungan dari internal.

"Seluruh karyawan Garuda Indonesia harus mendukung semua program recovery dengan membangun semangat sebagai tim yang solid dan mengedepankan kepentingan perusahaan," kata Hendra. 


Pangkas Komisaris

Sementara, Langkah yang akan dilakukan pemerintah untuk memangkas jumlah komisaris dinilai sangat tepat. Langkah ini, menurutnya, seharusnya tidak berhenti pada level komisaris saja.

Restrukturisasi organisasi harus diimplementasikan top down, beberapa direktorat dalam organisasi Garuda Indonesia dapat di-merger, begitupun halnya dengan karyawan pada middle level. Hal ini jika dilakukan akan berdampak kepada penghematan biaya tunjangan bagi posisi atau jabatan yang tidak optimal.

"Penawaran pensiun dini harus dijadikan langkah terakhir dalam usaha restrukturisasi SDM karena jika hal ini dilakukan tentunya akan menambah beban pengeluaran bagi Garuda Indonesia dengan jumlah nominal pesangon yang harus dibayarkan dan ada kemungkinan salah sasaran," katanya.

Harapannya, lanjutnya, karyawan yang mengajukan adalah yang mendekati usia pensiun, karena jika yang mengajukan adalah karyawan dengan usia produktif dengan pertimbangan dan rencana yang kurang matang, tentu akan ada peningkatan pengangguran.

Adapun, wacana penerbangan domestik tanpa rute internasional dinilai dapat dilakukan selama masa pandemi.

"Tetapi untuk selanjutnya, secara berkesinambungan, selain Garuda Indonesia harus melakukan proses transformasi menjadi perusahaan yang lebih akuntabel, professional, dan transparan, juga menjalankan bisnis penerbangan sesuai dengan visi dan misi perusahaan untuk memperkenalkan dan mengantarkan Indonesian Culture ke seluruh dunia," katanya. 


Perjuangan Garuda Indonesia Keluar dari Lilitan Utang yang Bertambah Rp 1 Triliun per Bulan

Maskapai nasional Garuda Indonesia pada Jumat (15/1) meluncurkan livery khusus dalam rangka mendukung program vaksinasi Covid-19 nasional. (Dok Garuda)

Kondisi keuangan Garuda Indonesia saat ini semakin tertekan di tengah pandemi Covid-19. Utang perusahaan menumpuk mencapai Rp 70 triliun, bahkan diperkirakan terus bertambah Rp 1 triliun setiap bulan.

Kementerian BUMN bersama manajemen Garuda Indonesia pun tengah bekerja untuk menyelamatkan perseroan.

Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk Irfan Setiaputra, sejauh ini belum banyak buka suara mengomentari berbagai laporan yang ada. Beberapa hari lalu bahkan beredar dokumen yang berisi empat opsi penyelamatan Garuda Indonesia. Opsi itu juga melihat dari hasil benchmarking dengan apa yang telah dilakukan oleh pemerintah negara lain.

Salah satu opsi tersebut adalah pemerintah akan terus mendukung Garuda Indonesia melalui pemberian pinjaman dan suntikan ekuitas. Hal ini contohnya dari Singapore Airlines, Cathay Pacific, dan Air China.

Meski demikian opsi ini memiliki catatan antara lain berpotensi meninggalkan Garuda Indonesia dengan utang warisan yang besar, sehingga akan membuat situasi yang menantang di masa depan.

Namun sejauh ini yang sudah dilakukan oleh Garuda Indonesia untuk mendorong pemulihan perusahaan adalah pensiun dini dan penangguhan gaji komisaris.

Manajemen Garuda Indonesia menawarkan opsi pensiun dini kepada karyawan sebagai salah satu upaya bertahan. Penawaran pensiun dini akan berlangsung hingga 19 Juni 2021, diikuti dengan rencana perseroan memangkas jumlah pesawat yang beroperasi.

Irfan Setiaputra mengatakan jika opsi ini tidak dipilih, maka gaji karyawan yang sempat ditunda tidak akan dibayarkan dulu.

"Memang betul kami menawarkan pensiun dipercepat bagi karyawan Garuda Indonesia. Tahun 2020 karyawan Garuda Indonesia saja 7.890 orang dan tahun lalu kita sudah melakukan program pensiun dini ini, plus percepatan kontrak dari pegawai-pegawai kita," ungkapnya.

Melihat situasi memprihatinkan tersebut, Dewan Komisaris Garuda Indonesia lantas mengambil sikap untuk meminta penangguhan gaji, dan pemberhentian pembayaran honorarium bulanan.

Hal itu tertuang dalam surat yang beredar dengan Nomor GARUDA/ANGGOTA-DEKOM-/2021 tertanggal 2 Juni 2021 yang diterbitkan oleh Anggota Dewan Komisaris Garuda Indonesia, Peter Gontha.

Dalam surat permohonan tersebut, Peter juga menjelaskan Dewan Komisaris sangat mengetahui penyebab kejadian kritis yang dialami Garuda Indonesia. Setidaknya ada 7 poin penting yang disampaikan Peter melalui surat tersebut. Salah satunya tidak adanya penghematan biaya operasional.

Menyambut surat tembusan yang dikeluarkan Peter Gontha, Menteri BUMN Erick Thohir lantas mengusulkan agar dilakukan pemangkasan dengan hanya menyisakan dua dewan komisaris saja untuk perseroan.

"Sangat bagus. Kita harus puji (Surat Tembusan dari Peter Gontha). Bahkan saya ingin mengusulkan, komisaris Garuda Indonesia hanya dua saja," kata Erick Thohir. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya