Liputan6.com, Cirebon - Upaya eksekusi lahan hasil putusan pengadilan mengenai sengketa ahli waris Sultan Sepuh XI Keraton Kasepuhan Cirebon memasuki babak baru.
Pengadilan Negeri (PN) Sumber Kabupaten Cirebon melakukan konstatering atau pencocokan di objek sengketa Desa Banjarwangunan Kabupaten Cirebon.
Pencocokan lahan tersebut diketahui merupakan lanjutan dari sebelumnya dilakukan oleh Pengadilan Negeri Kota Cirebon di kawasan Pegambiran Kota Cirebon.
Baca Juga
Advertisement
“Iya benar kami konstatering kemarin hari Senin di tujuh titik. Pencocokan ini atas permintaan bantuan dari Pengadilan Negeri Kota Cirebon, hari ini kita lakukan di 7 titik,” kata Panitera PN Sumber Kabupaten Cirebon Heri Siswanto, Selasa (8/6/2021).
Heri menyebutkan, dalam proses konstatering seluruh objek ada dan tidak fiktif. Namun ada beberapa perbedaan data dari pihak Desa Banjarwangunan Kabupaten Cirebon dengan pihak pemohon.
Salah satunya perbedaan satuan ukur hasil putusan MA yang diajukan pemohon dengan standar ukur yang disesuaikan pada saat ini. Serta perbedaan antara buku desa dengan hasil putusan yang diajukan pemohon untuk di eksekusi.
"Kalau dari putusan yang diajukan pemohon satuan ukurnya pakai RU atau yang lama sedangkan desa kan sudah pakai per meter persegi atau hektare. Tapi saat pencocokan objeknya ada dan sama," ujar dia.
Dari kondisi tersebut, Heri akan meminta bantuan Badan Pertanahan Negara (BPN) untuk kembali mengukur lahan hasil putusan tersebut di Desa Banjarwangunan.
"Sebetulnya kami sudah pernah minta bantuan BPN Cirebon tapi dijawab bukan kewenangan mereka karena dianggap belum bersertifikat. Kami akan minta bantuan lagi untuk penghkuran barangkali ada peta bidangnya," ujar dia.
Saksikan video pilihan berikut ini
Kuasa Hukum
Sementara itu, kuasa hukum ahli waris Sultan Sepuh XI Erdi D. Soemantri mengatakan, perbedaan tersebut bukan kesalahan dari pemohon maupun pengadilan. Perbedaan data berawal dari pihak desa.
“Dari buku desa sendiri yang rincinya tidak ada yang aslinya, jika ada buku aslinya dan benar memang beda kita pasti akan mengoreksi diri kita sendiri,” katanya.
Namun, kata Erdi, secara yuridis objek sengketa tersebut ada dan tidak fiktif. Oleh karena itu, dipastikan seluruh objek sengketa bisa dibuktikan kebenarannya.
Dia mengaku saat bertanya soal buku C rincikan Belanda, pihak desa menjawab tidak ada. Namun, saat dicek ke lokasi objek sengketanya ada dan sama dengan putusan yang diajukan pemohon.
"Jadi gini prinsip konstatering itu menentukan objek yang akan di eksekusi masih ada atau tidak. Kami bisa buktikan kalau objeknya ada setelah ke lokasi.
Dia menjelaskan, pada tahun dimana putusan tersebut keluar dalam sidang perdata tidak ada pemeriksaan tempat. Oleh karena itu, perbedaan data bisa dianggap wajar jika ada sedikit kekeliruan atau human eror.
Namun seiring perkembangan pembangunan dengan banyaknya pemukiman membuat terjadi perubahan buku C.
"Bahkan dinyatakan tidak tahu dan tidak ada oleh pihak desa saya kurang paham kapan berubahnya karena dulu tahun 2003 - 2004 saat ajudikasi belum ada perubahan alias datanya masih sama. Dan dulu kondisinya masih sawah semua tidak ada bangunan perumahan," ujar dia.
Selain hilangnya buku C rincikan Belanda, Erdi menemukan kejanggalan lain. Dia mengaku ada perubahan nama dalam objek sengketa tersebut.
"Dulu tahun 2004 tertera masih atas nama Sultan Sepuh XI sekarang atas nama pihak penggugat ad Ratu Rajawulung, Dolly Manawiah dan itu yang membuat saya sedikit janggal siapa yang mengubahnya. Harusnya buku C rincikan Belanda itu jelas dan tidak bisa diubah karena pertanggungjawaban pejabat," ujar dia.
Dari temuan tersebut, kuasa hukum keluarga Sultan Sepuh XI akan membuat permohonan secara yuridis. Permohonan tersebut menegaskan bahwa objek hasil putusan tersebut ada bukan fiktif.
"Kalau buku C asli nya ada itu lain cerita," kata dia.
Seperti diketahui, pencocokan objek sengketa itu menindaklanjuti putusan pengadilan tahun 1958 bernomor 82/1958/Pn.Tjn juncto nomor 279/1963 PT Pdt juncto nomor K/Sip/1964.
Perkara ini dimenangkan oleh Ratu Radja Wulung dan keluarga. Sementara babak awal sengketa ahli waris itu dimulai sejak 1958.
Saat itu, enam keturunan Sultan Sepuh XI Keraton Kasepuhan Cirebon Tajul Arifin Djamaluddin Aluda Mohammad Samsudin menolak jabatan Sultan XII yang diserahkan kepada Alexander Radja Radjaningrat.
Ahli waris Sultan Sepuh XI memenangkan gugatan tersebut. Pengadilan menolak forum previlegiatum Alexander.
Advertisement