Liputan6.com, Jakarta - Praktisi hak-hak asasi manusia, Frikjesus Amahazion mengungkapkan bahwa dari banyak kekerasan terhadap perempuan, kasus setrika payudara lebih sedikit mendapatkan perhatian. Hal itu berbeda dengan kasus pernikahan anak, mutilasi alat kelamin perempuan, dan lain-lain.
Ia mengungkapkan itu dalam penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Global Health. "Hanya ada sedikit penelitian yang dilakukan atau perhatian diberikan pada penyetrikaan payudara, praktik berbahaya, terutama dilakukan pada anak perempuan dan perempuan di beberapa bagian Afrika selatan Sahara," jelas Frikjesus, melansir dari laman ncbi.nlm.nih.gov, Selasa, 8 Juni 2021.
Baca Juga
Advertisement
Ia mengatakan, penyetrikaan payudara, kadang-kadang disebut sebagai perataan payudara. Praktik ini untuk membantu menyamarkan permulaan pubertas pada anak perempuan, yang diyakini akan membantu menghalangi perhatian pria dan melindungi mereka dari pelecehan seksual, penyerangan, eksploitasi, dan pemerkosaan atau penyakit menular seksual.
Praktik berbahaya itu umumnya melibatkan pukulan berulang, menekan, menyetrika, menggosok, atau memijat payudara gadis puber, sering menggunakan benda keras atau panas, untuk mencoba menghentikan atau menunda pertumbuhan payudara sehingga menjadi datar atau menghilang.
Praktik tersebut dapat mencakup penggunaan berbagai benda, seperti batu gerinda yang dipanaskan, wajan besi, sendok, palu, alu atau spatula kayu, sendok, sapu, atau setrika listrik. Benda lain yang sering pula digunakan antara lain buah hitam, tempurung kelapa, kulit pisang raja, dan daun atau tanaman tertentu yang dipercaya berkhasiat obat atau penyembuhan.
Setrika payudara juga dapat berupa membungkus atau mengikat perban dengan ketat. Selain itu, bisa menggunakan kompres elastis, kain, atau ikat pinggang di sekitar dada gadis muda.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dilakukan Keluarga
Penyetrikaan payudara biasanya dilakukan oleh kerabat keluarga perempuan. Mereka adalah ibu, saudara perempuan, bibi, nenek, pengasuh, atau wali perempuan lainnya. Umumnya, praktik ini dijaga sebagai rahasia antara anak perempuan dan ibu mereka atau wali lainnya.
Frikjesus mengatakan, kadang-kadang praktik tersebut dilakukan oleh bidan atau dukun yang dapat memberi mereka penghasilan tetap. Mereka yang dapat melakukan itu mendapatkan status sosial yang lebih tinggi.
Sampai saat ini, data dan studi empiris tentang penyetrikaan payudara sangat langka, sehingga membatasi pemahaman yang luas tentang tingkat atau prevalensi umum. Frikjesus mengatakan, Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa mencantumkan penyetrikaan payudara sebagai salah satu dari "lima cerita yang kurang dilaporkan terkait dengan kekerasan berbasis gender."
Advertisement
Kesetaraan Gender
Frikjesus mengungkapkan sejumlah negara yang masih mempraktikkan penyetrikaan payudara, yaitu Burkina Faso, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Chad, Pantai Gading, Guinea-Bissau, Guinea-Conakry, Kenya, Nigeria, Togo, Afrika Selatan, dan Zimbabwe.
Ia menyebut, sebuah studi nasional pada 2005 yang dilakukan di Kamerun memperkirakan bahwa sekitar 25 persen anak perempuan dan perempuan telah menjalani prosedur tersebut. Selain itu, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa menyetrika payudara berkorelasi dengan agama, suku, kekayaan, atau pendidikan formal.
Ke depan, ia berharap perhatian yang lebih besar terhadap penyetrikaan payudara sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesadaran dan melindungi hak dan kepentingan anak perempuan dan perempuan dengan lebih baik. Ia menyarankan kesetaraan gender harus dipromosikan dan norma, nilai, keyakinan, dan sikap patriarki yang mengakar kuat yang mendasari menyetrika payudara harus ditentang dengan tegas.
Baca Juga
Infografis Baiq Nuril Korban Pelecehan Asusila Cari Keadilan
Advertisement