Revisi PP Tembakau Dinilai Bikin Industri Hasil Tembakau Makin Sekarat

Aliansi masyarakat dan pekerja di sektor industri hasil tembakau (IHT) menolak adanya revisi Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2021.

oleh Athika Rahma diperbarui 09 Jun 2021, 17:10 WIB
Petani Tembakau (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Jakarta - Aliansi masyarakat dan pekerja di sektor industri hasil tembakau (IHT) menolak adanya revisi Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2021.

Penolakan tersebut disampaikan dalam aksi pernyataan sikap yang ditandatangani 12 pemangku kepentingan di mata rantai IHT, Rabu (9/6/2021).

Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo mengatakan, wacana revisi PP ini akan memberatkan keberlangsungan hidup IHT dan semakin merugikan 6 juta orang yang menggantungkan nasib di sektor ini.

"Wacana revisi PP 109/2012 tujuannya tidak lagi melakukan pembatasan, tapi melarang total keberadaan IHT. Ini sangat disayangkan," ujar Budiyono.

Lebih lanjut, kinerja sektor IHT pada 2020 tercatat turun 9,7 persen akibat kenaikan cukai tinggi, dampak pandemi dan regulasi yang dinilai menekan sehingga menimbulkan ketidakpastian usaha. Hingga April 2021, tercata sektor IHT masih mengalami penurunan 6,6 persen.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Muhammad Nur Azami mengatakan, dampak revisi PP 109/2012 akan sangat dahsyat karena tidak hanya menghajar sistem bisnis industri namun juga mendeterminasi faktor sosial dari hulu.

"Jadi benang merah revisi ini adalah menghajar bisnis pabrik rokok dengan kebijakan larangan-larangan yang berkaitan dengan pemasaran, distribusi dan perdagangan. Lalu menghajar konsumen dengan pembatasan-pembatasan terhadap akses produk hasil tembakau dan stigmatisasi buruk di lingkungan sosial masyarakat. Di hulu, petani tidak dapat menjual tembakau dan cengkeh sehingga mereka terpaksa untuk berhenti menanam tembakau,” paparnya.

Seperti diketahui, selama dua tahun terakhir wacana revisi PP 109/2012 didorong oleh Kementerian Kesehatan untuk melegalkan perluasan gambar peringatan kesehatan dari 40 persen menjadi 90 persen dan pelarangan total promosi dan iklan di berbagai media, termasuk tempat penjualan. Dorongan ini dilakukan dengan dalih adanya peningkatan prevalensi perokok anak.

"Padahal kebijakan pengendalian tembakau saat ini sudah mengatur berbagai poin untuk membatasi iklan media luar ruang, iklan televisi, tempat khusus merokok yang terpisah dan larangan menjual roko kepada ibu hamil dan anak di bawah 18 tahun," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Aliansi Masyarakat Tembakau: Ada Dorongan Asing untuk Hancurkan Industri Tembakau Indonesia

Ilustrasi Tembakau (iStockphoto)

Masyarakat dan pekerja yang tergabung dalam mata rantai Industri Hasil Tembakau (IHT) dengan tegas menolak revisi Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Menurut aliansi IHT, revisi PP tersebut sangat dipaksakan dan cacat prosedur hukum karena tidak memenuhi kedaruratan dan tidak melibatkan mata rantai IHT dalam penyusunannya.

"Kami, mewakili 6 juta penduduk Indonesia di mata rantai IHT dengan ini menyatakan menolak revisi PP 109/2012," tegas Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo, Rabu (9/6/2021).

Lebih lanjut, upaya revisi tersebut dinilai didesak oleh kelompok tidak bertanggung jawab yang membawa agenda asing di Indonesia.

Menurut mereka, PP 109/2012 sudah sangat lebih dari cukup untuk membatasi dan mengendalikan penggunaan tembakau di Indonesia sehingga tidak perlu direvisi lagi.

"Dorongan revisi PP 109/2012 terjadi karena adanya dorongan asing untuk menghancurkan Industri Tembakau Indonesia dengan mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control yang tidak sesuai diterapkan di Indonesia," ujarnya.

Oleh karenanya, aliansi yang terdiri dari 12 asosiasi, himpunan dan komunitas di bidang tembakau dengan tegas mendesak Presiden Joko Widodo untuk menghentikan proses revisi PP Tembakau karena dapat mengancam keberlangsungan IHT dan hajat hidup mata rantainya.

"Petani tembakau, petani cengkeh, pabrikan, tenaga kerja, pedagang, konsumen. Seluruh mata rantai IHT akan mengambil langkah politis mengawal dan memastikan negara hadir membela rakyat dan mata pencahariannya," tandasnya.


Produsen Rokok: Masih Relevan, Pemerintah Tak Perlu Revisi PP 109/2012

Industri rokok telah menyumbang kontribusi ekonomi terbilang besar. Tahun lalu saja, cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp139,5 triliun.

Sebelumnya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan saat ini sedang melakukan revisi PP No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) yang menaungi ratusan perusahaan rokok legal berpandangan, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu melakukan kajian atau evaluasi pemberlakuan PP 109/2012. Salah satunya terkait edukasi yang dilakukan pemerintah.

“Pasalnya, kami melihat bahwa pemerintah, khususnya Kemenkes, belum melakukan upaya konkret dalam mencegah perokok anak,” kata Ketua umum GAPPRI, Henry Najoan di Jakarta, Senin (7/6/2021).

Henry menegaskan, GAPPRI pada dasarnya tidak setuju atas rencana revisi PP 109/2012, mengingat ketentuan PP yang lama masih relevan dengan kondisi saat ini. Karean itu, GAPPRI berharap PP 109/2012 tetap dipertahankan karena masih relevan dengan kondisi saat ini.

Terkait pelibatan pembahasan revisi PP 109/2012, Henry mengatakan asosiasi dan pelaku industri hasil tembakau (IHT) sampai saat ini tidak pernah dilibatkan oleh pemerintah. Bahkan, pihaknya juga belum menerima draf revisi PP 109/2012.

Merujuk Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan, Pasal 96, setiap pembentukan regulasi harus ada proses konsultasi publik dan transparan pada setiap tahap perumusannya. Selain itu, juga harus dilengkapi dengan analisis dampak regulasi yang prosesnya sesuai kaidah Regulatory Impact Analysis (RIA).

“GAPPRI memandang, revisi PP 109/ 2012 justru akan memperburuk kondisi usaha IHT yang saat ini sudah terpuruk akibat kenaikan tarif cukai hasil tembakau tahun 2020 dan tahun 2021,” tegas Henry.

Berdasarkan data resmi GAPPRI, tercatat 300 produk hukum yang dikenakan pada IHT. IHT adalah industri yang padat regulasi (fully regulated). Karena itu, GAPPRI berharap setiap regulasi yang dibuat selalu melibatkan para pemangku kepentingan. IHT itu selain padat karya, juga padat aturan.

Di tengah pandemi Covid-19 dan iklim usaha yang tidak stabil ini, GAPPRI berharap industri hasil tembakau nasional tidak diganggu dengan isu-isu yang merugikan banyak pihak. Justru insentif pemerintah sangat dibutuhkan dalam kondisi saat ini agar ekonomi masyarakat bisa bertahan dalam situasi resesi global.

“Bahwa menjaga industri yang tersisa saat pandemi Covid-19 dengan daya tahan kuat seperti IHT perlu menjadi perhatian pemerintah. Ketika pemerintah perlu menjaga sisi demand (permintaan) dan supply (penyediaan) masyarakat, maka dukungan dibutuhkan bagi industri,” terang Henry. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya