Liputan6.com, Yogyakarta - Berdirinya pondok pesantren, tentu memiliki kisah tersendiri. Seperti pondok pesantren tertua dan pertama di Yogyakarta, yaitu Pondok Pesantren Al-Munawwir yang berada di Desa Krapyak, Bantul, Yogyakarta. Pondok pesantren ini awalnya bernama Pondok Pesantren Krapyak yang kemudian ditambah dengan nama Al-Munawwir untuk mengenang pendiri pondok pesantren tersebut.
Dilansir dari laman nu.or.id Pondok Pesantren Krapyak Al-Munawwir yang lebih dikenal dengan Pondok Pesantren Krapyak ini didirikan oleh KH Muhammad Munawwir pada 15 November 1911, saat beliau kembali ke Tanah Air setelah menimba ilmu di Makkah dan Madinah selama 21 tahun lamanya.
Baca Juga
Advertisement
Selama bermukim di kedua kota suci itu, beliau memperoleh ijazah untuk mengajar tahfiz Al-Qur'an. Selain sebagai seorang penghafal Al-Qur'an beliau juga mendalami ilmu Al-Qur'an, tafsir, dan qiraat sab’ah dari beberapa guru. Dilansir dari laman lajnah.kemenag.go.id, KH M Munawwir dikenal sebagai alim Jawa pertama yang berhasil menguasai qiraat sab’ah.
Setelah 21 tahun menimba ilmu agama, begitu sampai di Tanah Air tepatnya di Kauman, Yogyakarta. Ia aktif mengadakan pengajian agama. Di rumah orangtuanya lah, ia aktif membuka pengajian kitab, khususnya Al-Qur'an, sesuai dengan disiplin ilmu KH M Munawwir saat menimba ilmu di Tanah Suci yang mendalami Ulum Al-Qur'an.
Seiring berjalannya waktu, pengajian yang diadakan di Kauman dirasa kurang efektif karena sempitnya ruangan pengajian. Kemudian berdasarkan saran yang diberikan oleh KH Sa’id dari Gedongan, Cirebon, akhirnya KH M Munawwir memilih dusun Krapyak yang berada di luar benteng Keraton sebagai tempat berdirinya pondok pesantren Yogyakarta ini di kemudian hari.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Diteruskan Menantunya
KH M Munawwir semasa hidupnya tumbuh dalam suasana perang pada masa kolonial Belanda-Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, Pondok Pesantren Krapyak dilanda musibah. Akibat kurangnya kebutuhan pangan dan pakaian, selama dua tahun santrinya pulang kampung dan Pondok Pesantren Krapyak mengalami kerugian hingga hampir gulung tikar.
Pada saat yang sama pesantren Krapyak masih berkabung dengan wafatnya KH M. Munawwir pada Jumat, 6 Juli 1942. Mengingat putra-putri almarhum kala itu masih terlalu muda untuk mengelola pesantren, maka diputuskan Kiai Ali dari pesantren Al-Hidayat, Lasem yang merupakan menantu dari KH M Munawwir untuk melanjutkan kiprahnya sebagai pengurus Pondok Pesantren Krapyak.
Awalnya, Kiai Ali tidak langsung menerima tawaran tersebut, tetapi akhirnya Kiai Ali setuju setelah tiga kali diminta oleh keluarga Krapyak. Langkah awal yang dilakukan Kiai Ali setelah beliau resmi menjadi pengurus Pondok Pesantren Krapyak adalah menyiapkan sumber daya manusia berkualitas yang beliau percayakan kepada para putra dan cucu serta menantu almarhum KH M Munawwir.
Tercatat, ada keseimbangan pembelajaran di pondok pesantren yang namanya diambil dari nama sang pendiri pondok pesantren ini semasa Kiai Ali memimpin. Keseimbangan pembelajaran antara Al-Qur'an dan kitab-kitab (kuning) tersebut terus dipertahankan dan berkembang hingga kini.
Terdapat sistem belajar kitab kuning yang disenangi oleh Kiai Ali, yaitu sorogan, santri membaca kitab yang dikaji dan bandongan atau pembelajaran dalam bentuk kelas pada sekolah agama.
Hingga saat ini Pondok Pesantren Krapyak sudah sangat berkembang dan difasilitasi dengan berbagai jenjang lembaga pendidikan klasikal, mulai dari TK, Madrasah Diniyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasatul Banat, Madrasatul Huffadz, hingga Ma’had Aly yang merupakan perguruan tinggi ilmu salaf berupa jenjang pendidikan klasikal teratas di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak dengan masa belajar atau kuliah selama empat tahun atau delapan semester.
(Nurul Fajri Kusumastuti)
Advertisement